Publikasi Internasional Diwarnai Kecurangan

Publikasi Internasional Diwarnai Kecurangan

TANGSEL – Menristekdikti Mohamad Nasir dalam berbagai kesempatan memamerkan data perkembangan publikasi internasional Indonesia. Hasilnya cukup menggembirakan, karena di ASEAN menjadi tertinggi kedua setelah Malaysia. Ternyata di balik tingginya publikasi tersebut, diwarnai praktik-praktik kecurangan. Praktik kecurangan dalam pembuatan publikasi internasional itu menjadi temuan dari tim penilaian angka kredit (PAK) 2018 Kemenristekdikti. Dalam dokumen evaluasi PAK tersebut, dijelaskan beberapa dugaan modus kecurangan. Diantara modus kecurangan tersebut adalah self-citation atau sitasi (merujuk) karyanya sendiri dengan jumlah tidak wajar. Di kalangan akademisi, self-citation biasa disebut dengan masturbasi publikasi. Dalam dokumen tersebut digambarkan bahwa sitasi Indonesia mengalami kenaikan sejak 2016 hingga 2018. Ada juga temuan sebuah artikel yang disitasi atau dirujuk 66 karya tulis lainnya. Dimana 29 karya tulis (43 persen) diantaranya adalah karya tulis buatannya sendiri. Kemudian ada sebuah karya tulis yang disitasi 37 karya tulis lainnya. Tetapi sebanyak 22 karya tulis (59 persen) adalah buat si penulis sendiri. Kemudian di dalam dokumen evaluasi tersebut ada oknum dosen dengan jumlah sitasi di 2018 ini mencapai 239 sitasi. Tim evaluasi menegaskan seperti apa riset seorang dosen tersebut sehingga mendapatkan sitasi yang cukup banyak dalam setahun. Tim evaluasi juga menegaskan self-citation bukan sebuah perbuatan yang haram. Hanya saja harus dilakukan dengan professional dan proporsional. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menuturkan mensitasi karyanya sendiri sebenarnya sudah masuk plagiasi. ’’(Yaitu, Red) self plagiarism,’’ katanya usai meresmikan fasilitas CPOTB (cara pembuatan obat tradisional yang baik) di komplek Puspiptek, Tangsel, kemarin. Handoko menuturkan praktik self-citation merupakan perbuatan yang kurang etis. Jika ada temuan praktik self-citation yang mencurigakan atau tidak wajar, sebaiknya diproses di dalam komisi etika seorang peneliti atau akademisi. Dia menegaskan bahwa menyitasi karyanya sendiri sejatinya tidak apa-apa. Selama itu relevan. ’’Tetapi kalau terlalu over, ya jadi masalah,’’ tuturnya. Bagi Handoko, orang-orang di komuntias penelitian atau riset pasti sudah paham ukuran sitasi karya sendiri yang masih wajar. Ada beberapa keutungan dengan adanya self-citation yang berlebihan alias tidak wajar. Diantaranya adalah menaikkan H-index peneliti yang bersangkutan. H-index itu menunjukkan seberapa tinggi kompetensi seorang peneliti, dengan mengukur seberapa banyak karyanya disitasi. Ketika yang melakukan sitasi adalah dirinya sendiri, secara sistem karyanya memiliki indeks sitasi yang tinggi. ’’Seolah-olah H-index-nya tinggi. Padahal dirinya sendiri (yang melakukan sitasi, Red),’’ katanya. Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti (SDID) Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, seorang dosen tidak perlu terobsesi indeks Scopus. Tetapi harusnya lebih ke arah substansi dan kualitas penelitian yang mereka lakukan. Serta aspek kemanfaatan penelitian bagi masyarakat luas. Dia menegaskan bahwa Ditjen SDID Kemenristekdikti tidak pernah mewajibkan seorang dosen harus publikasi terindeks di Scopus. ’’Yang penting publikasi di jurnal yang bereputasi,’’ kata guru besar UGM itu. Dia mengatakan dengan tidak adanya kewajiban ke Scopus, seharusnya tidak perlu melakukan praktik-praktik yang tercela. Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan (Risbang) Kemenristekdikti Muhammad Dimyati berpendapat bahwa self sitasi tidak dilarang. Asal memang yang disitasi adalah riset yang dilanjutkan penelitiannya. Tetapi jika yang disitasi adalah riset tidak terkait, bagi Dimyati adalah perilaku yang kurang elok. Baginya ada etika dan aturan kepantasan untuk mensitasi hasil karya sendiri. Dimyati menuturkan bagi seorang peneliti, akan lebih elok jika yang disitasi adalah karya orang lain. Itu sekaligus menunjukkan seberapa luas bacaan dan sumber literatur serta jaringan seorang peneliti. Dia mengungkapkan bahwa ketentuan sitasi menjadi rame saat pengukuran World Class University (WCU) menjadikannya sebagai salah satu syarat. Dimyati menceritakan sebelumnya syarat dalam pengukuran WCU adalah kompetensi, rasio dosen dengan mahasiswa, dan jumlah publikasi, serta syarat lainnya. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, diberlakukan juga syarat sitasi untuk sebuah publikasi. Bagi Dimyati, idealnya sitasi itu terjadi ketika sebuah publikasi menjadi rujukan utama atau rujukan pendukung oleh peneliti lainnya. Tetapi karena ingin mendapatkan skor H-index yang tinggi, para peneliti atau dosen banyak melakukan tindakan yang menghalalkan segala cara. “Yang menurut saya bertentangan dengan kejujuran akademik,’’ jelasnya. Padahal kejujuran akademik merupakan sebuah persyaratan penting bagi seorang peneliti yang kredibel atau dapat dipercaya. Ke depan Dimyati mengakui bahwa pemerintah harus lebih canggih dan dinamis dalam memonitor kegiatan peneliti dan dosen. Jika tidak, maka regulasi yang dibuat akan disiasati dengan cara yang tidak baik. Menurutnya selain terus mengeluarkan regulasi baru, sekaligus mengevaluasi implementasinya di lapangan. Dia menegaskan bahwa mengejar pengakuan atau recognition di kancah internasional sah-sah saja dilakukan seorang ilmuan. Tetapi untuk mengejarnya harus dilakukan dengan elok, professional, dan menjunjung etika. Dimyati mengungkapkan sanksi bagi pelanggar etika akademik sudah dilakukan. Menurutnya tidak hanya dosen yang sudah pernah dijatuhi sanksi akibat plagiat atau sejenisnya. Bahkan kasus serupa juga pernah menimpa seorang rektor. Dia juga mencotohkan pada 1998 ada seorang dosen UGM yang dijatuhi sanksi akibat plagiasi. Kemudian tahun lalu rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Djaali dicopot sebagai rektor. Pemicunya adalah sejumlah kasus pelanggaran akademik. Diantaranya adalah kasus plagiasi mahasiswa S3 ketika Djaali menjabat sebagai rektor. (jpnn/mas)

Sumber: