Menkeu: Kenaikan UMP 2019 Bisakah Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja
![Menkeu: Kenaikan UMP 2019 Bisakah Tingkatkan Kesejahteraan Pekerja](https://tangerangekspres.disway.id/uploads/Sri-Mulyani-PKN-STAN.jpg)
Jakarta--Lembaga peneliti independen Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai mekanisme penentuan upah minimum provinsi (UMP) merugikan pekerja karena dianggap tidak sesuai kebutuhan pekerja. Pasalnya, penentuan upah minimum dilakukan berdasarkan asumsi makro pemerintah pusat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015. Padahal, para pekerja menuntut penentuan upah minimum dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan hidup layak. Peneliti CIPS Imelda Freddy berpendapat, PP ini dianggap tidak mencerminkan situasi nyata di lapangan. Misalnya saja, perhitungan UMP menggunakan asumsi makro berupa besaran inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, rata-rata inflasi adalah 3,5 persen per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen pertahun. Dengan begitu, peningkatan upah bagi pekerja akan sangat kecil yakni hanya kurang dari 10 persen. Menurut dia, penghitungan inflasi tidak mencerminkan harga maupun jenis barang di lapangan yang dibutuhkan pekerja. Intinya, lanjut dia, keputusan peningkatan upah bertentangan dengan UU ketenagakerjaan pasal 89 ayat (2) bahwa upah minimum diarahkan mencapai kebutuhan hidup layak (KHL). "Kalau pemerintah menghitung standar hidup layak, maka survei KHL akan lebih akurat untuk menentukan tingkat kenaikan upah pekerjan ketimbang dengan inflasi," jelas Imelda dalam keterangan tertulis, Kamis (18/10). Lebih lanjut, Imelda memaparkan, penentuan upah minimum terkesan sentralisasi dan tidak melihat kondisi lapangan. Padahal kenyataanya, biaya hidup di Papua dan di DKI Jakarta berbeda. "Sebaiknya wewenang perhitungan upah diserahkan kepada pemerintah daerah yang lebih mengetahui situasi di lapangan langsung. Setidaknya tingkat inflasi disesuaikan dengan tingkat inflasi di daerah masing-masing, bukan inflasi nasional," ungkapnya. Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengaku belum mengetahui secara rinci bagaimana pengaruh kebijakan kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2019 sebesar 8,03 persen terhadap perekonomian domestik. Pengaruhnya tersebut khususnya ke inflasi. Menurut dia, untuk mengetahui hal itu, harus terlebih dahulu mengetahui secara mendetail mengenai kebijakan kenaikan UMP tersebut yang telah diumumkan pemerintah melalui Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8.240/M-Naker/PHI9SK-Upah/X/2018. "Nanti akan kita lihat policy-nya seperti apa," ujar Sri saat ditemui usai Wisuda PKN STAN 2018 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Kamis (18/10). Meski begitu, sebelumnya dia pun mengatakan bahwa kenaikan UMP tersebut pada dasarnya mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Sebab, dengan kenaikan UMP itu, dikatakannya mampu memengaruhi secara positif di dua faktor pendorong ekonomi nasional. Yakni daya beli masyarakat, dan produktivitas dunia usaha. "Kalau dari sisi daya beli kan berarti positif, kalau dari dunia usaha bagaimana kita melihat kenaikan upah itu dibarengi produktivitas atau tidak," tutur Sri saat ditemui di kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu 17 Oktober 2018. Akan tetapi, menurutnya, kenaikan UMP tersebut harus didukung oleh peningkatan kualitas para pekerja di Indonesia. Pada akhirnya produktivitas industri atau dunia usaha akan ikut terdorong. "Jadi memang yang paling kunci memang kualitas SDM (sumber daya manusia) agar produktivitas naik, sehingga kita bisa mendapatkan kesejahteraan dari kenaikan upah minimum," ungkapnya. Kenaikan UMP pada 2019 tersebut diputuskan pemerintah berdasarkan data inflasi nasional ditambah pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini. Berdasarkan perhitungan BPS, inflasi nasional yang mendasari ketetapan ini adalah sebesar 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5.15 persen.(cnn/okz)
Sumber: