Jangan Ragu, Pelapor Korupsi Dilindungi

Jangan Ragu, Pelapor Korupsi Dilindungi

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 42 Tahun 2018, yang mengatur hadiah hingga Rp 200 juta bagi pelapor kasus korupsi dan suap. Selain hadiah, pelapor juga akan diberi perlindungan hukum dan dirahasiakan identitasnya. Jokowi berharap partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dan pelaporan penyimpangan bisa meningkat. Menurutnya, korupsi merupakan kejahatan yang sifatnya luar biasa. Oleh karenanya, dalam pemberantasannya tidak cukup dilakukan penegak hukum saja, melainkan juga dibutuhkan peran serta masyarakat sebagai kelompok yang hidup di berbagai lini. “Kita menginginkan adanya partisipasi dari masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan mengurangi, bahkan menghilangkan yang namanya korupsi,” ujarnya usai membuka Rakernas LDII di Jakarta. Terkait sumber pendanaan untuk hadiah pelapor, mantan Walikota Solo itu memastikan bersumber dari APB dan sudah dikalkulasikan. Namun terkait teknisnya, dia mengaku kurang memahami. “Nanti tanya Menkeu,” imbuhnya. Seperti diketahui, melalui PP 43/2018, masyarakat yang memiliki informasi mengenai adanya dugaan tindak pidana korupsi dapat menginformasikannya kepada pejabat berwenang atau penegak hukum. Peran serta masyarakat itu nantinya akan diganjar penghargaan berupa piagam dan premi. Besaran premi ada dua jenis. Untuk kasus pelaporan korupsi, besaran premi 2 permil dari jumlah kerugian negara, dengan nilai maksimal hingga Rp 200 juta. Sementara untuk kasus pelaporan suap, besaran premi maksimal Rp 10 juta. Pada kesempatan tersebut, Jokowi juga meminta masyarakat untuk tidak ragu dalam melaporkan. Pasalnya, selain hadiah, pelapor juga akan diberi perlindungan hukum dan dirahasiakan identitasnya. “Nanti mekanismenya saya kira akan diatur kementerian atau nanti setelah ditindaklanjuti,” ujarnya. Sebelumnya, KPK mengapresiasi kebijakan tersebut. Pasalnya, kebijakan itu diharapkan bisa membantu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski demikian, KPK menekankan agar prosedur perlindungan pelapor bisa diperkuat. Sehingga tidak ada kekhawatiran masyarakat untuk menjadi pelapor. Sementara itu, Jokowi didesak untuk segera mencabut PP Nomor 43 Tahun 2018. Peraturan Pemerintah itu dinilai ngawur dan tidak pada tempatnya. Desakan pencabutan PP tersebut dilontarkan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di ruang kerjanya Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (11/10). Bahkan politisi asal PKS ini mempertanyakan siapa penasihat dari Presiden Jokowi hingga mengeluarkan peraturan yang ngawur. “Kenapa ada penasehat Presiden begini, mengeluarkan PP ngawur begini. Pak Jokowi, batalkan itu PP,” tegas Fahri. Fahri menuturkan PP itu jika tidak segera dicabut maka secara tidak langsung Presiden Jokowi akan melumpuhkan fungsi audit yang selama ini dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK). Selain itu akan menyuburkan lembaga-lembaga yang tidak pernah bekerja sesuai prosedur dan tidak menghargai sistem. “Hormati lah BPK. Dan, hentikan kerja lembaga-lembaga yang tidak menghargai sistem,” imbuh politis dari PKS itu lagi. Menurut Fahri dalam mengeluarkan PP yang benar, semua kebisingan dalam publik termasuk kejahatan di dalamnya, ditangkap melalui sistem. Makanya dalam korupsi yang penting adalah audit, karena dengan auditlah yang menemukan fraud yang berujung pada kerugian negara. “Korupsi itu sudah ada alat mitigasinya dalam sistem demokrasi. Mulai dari pelaporan, sampai penindakan sudah diatur secara detil,” tegasnya. Pimpinan DPR Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kokwesra) itu menambahkan dalam birokrasi dan sistem administrasi yang ada di Indonesia, negara kehilangan 1 sendok makan pun akan terlihat. Ini tak lain dari semakin hebatnya sistem membaca aset itu. “Jadi sudahlah, ini orang disuruh saling lapor. Nanti orang korupsi Rp 50 juta yang lapor dapat Rp 200 juta, enak betul. Mendingan jadi tukang lapor saja, tukang tangkap, rusak negara ini," tambahnya. Fahri mengemukakan, ada mazhab berpikir yang salah. Kalau rakyat bisa saling lapor, masalah bisa selesai. Kalau dianggap mazhab itu akan menyelesaikan semuanya, kenapa hanya korupsi yang pelapornya mendapat imbalan Rp 200 juta. “Sekalian saja diberi Rp 300 juta untuk lapor narkoba, Rp 400 juta untuk lapor terorisme, Rp 1 miliar untuk lapor perusakan lingkungan, sekian ratus juta untuk perusak fasilitas publik, lalu sekian juta untuk laporkan KDRT atau trafficking,” tandasnya. (fin/bha)

Sumber: