Cerita Korban Selamat dari Gempa dan Tsunami Palu

Cerita Korban Selamat dari Gempa dan Tsunami Palu

Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Sulteng banyak meninggalkan cerita pilu. Warga pun berbondong-bondong meninggalkan Palu. Cerita itu dari kampung Petobo. Daerah ini lenyap terkubur lumpur. HENDRA asal Palattae, Kabupaten Bone tak bisa melupakan bagaimana lumpur datang seperti gelombang laut. Mujur, ia bisa selamat dari lumatan lumpur yang menelan ratusan rumah di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Sulteng itu. Dia tak berpikir jika terjadi likuifaksi (tanah bergerak) di daerahnya. Hendra waktu itu sedang duduk di ruang tamu. Istrinya sedang mandi. Tiba-tiba gempa datang. Ia spontan berteriak memanggil istrinya, Indarwati, untuk menyelamatkan diri. Hendra langsung meraih motornya yang jatuh karena guncangan hebat. Hendra bergegas menjemput kedua anaknya yang sedang belajar ngaji. Dalam benaknya, ingin segera meninggalkan kampung itu. Sebab terlambat sekian detik bisa celaka. Karena, setelah gempa, tanah bergolak menjadi lumpur. Rumahnya terbenam. “Tanah berubah menjadi seperti agar-agar. Kalau diibaratkan seperti piring di atas air yang bergoyang setiap saat,” kata Hendra saat ditemui di Rumah Wakil Bupati Mamuju, Selasa 2 Oktober. Pria yang juga berprofesi sebagai ASN di Dinas Keuangan Pemkot Palu ini mengaku tidak ada firasat akan terjadi bencananya. Pasalnya bagi warga Palu, gempa hal yang biasa terjadi. Gempa bisa dikatakan setiap hari terjadi. Namun, kali ini berbeda setelah gempa ada gemuruh yang diikuti semburan lumpur. Semakin lama semakin besar dan tanah mulai bergerak. “Kami bergerak lumayan jauh menuju arah kota Palu dan berhenti di tengah jalan. Pokok jauh dari pantai menghindari pantai karena tsunami dan jauh dari gunung karena longsor,” ucapnya. Lelaki yang sudah menetap di Palu sejak 2006 lalu itu menambahkan selama sehari dirinya hanya memakan makanan seadanya. Sabtu kemarin, baru ada beberapa keluarganya yang ia temukan. Salah satunya ada sepupu yang juga orang Bone. Berasal dari situ dia memutuskan untuk segera kembali ke Bone untuk menyelamatkan diri, dengan cara menumpang mobil milik keluarga tersebut. “Kami meninggalkan Palu pada Senin sore sekitar pukul 15.00 Wita dan baru sampai di Mamuju pada Selasa pukul 15.30 Wita juga. Ini karena jalanan macet banyak warga yang juga mengungsi seperti kami. Malam ini kami akan langsung ke Palattae, Bone,” tambahnya. Uswatun Hasanah yang juga warga Petobo mengatakan pada saat kejadian dia langsung lari keluar dari rumahnya. Namun, beberapa saat langsung dirinya mendengar ada teriakan dari warga lainnya yang mengatakan air laut naik. Tsunami. Dia berlari menggendong anaknya, Naisyah (1,5 tahun) untuk menjauh. Tetapi, saat berhenti dan baru sadar bahwa anak satunya lagi, Nailah (3) tertinggal. Beruntung, ada tetangga yang membawanya dan ketemu di tempat persinggahan. “Waktu itu suami saya tidak ada di tempat,” ujarnya. Dia pun baru bertemu suaminya Sabtu, sebab baru tiba di bandara. “Untuk bertahan hidup saya ke kantor suami saya yang bekerja di Basarnas, dan mendapat makanan di sana,” ucapnya. Setelah agak tenang dia pun memutuskan untuk meninggalkan Palu bersama kedua anaknya. Sedangkan suami tetap berada di Palu untuk ikut melakukan evakuasi. “Ada keluarga dari suami saya jemput di Palu dan dibawa ke Mamuju dan akan ke Makassar untuk menenangkan diri. Untuk rumah kami di Palu kini bukan rata dengan tanah, tetapi terendam di tanah yang turun karena adanya semburan lumpur,” ujarnya. (fin/bha)

Sumber: