Tuntutan K-2 Tak Dikabulkan, Syarat Usia Tak Bisa Diubah

Tuntutan K-2 Tak Dikabulkan, Syarat Usia Tak Bisa Diubah

SERANG – Tuntutan ribuan pegawai honorer K-2 di Banten agar ada revisi batas usia pendaftaran CPNS 35 tahun tampaknya sulit terwujud. Meski sudah menggelar unjuk rasa besar-besaran di Kantor Gubernur Banten Rabu (18/9) lalu, tuntutan mereka tetap kandas. Melalui pengumuman resmi seleksi CPNS 2018 kemarin (19/9), pemerintah tidak mengubah persyaratan yang membatasi pengangkatan mayoritas honorer tersebut. Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian PAN-RB Mudzakir menjelaskan mereka masih berpatokan pada peraturan perundang-undangan. “Yaitu UU Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PNS,” katanya. Mudzakir mengatakan pemerintah sudah mengakomodasi pengangkatan guru honorer menjadi CPNS. Yaitu dengan adanya kuota khusus untuk guru honorer. Tetapi terkait tuntutan perubahan batas usia pendaftaran CPNS baru, Mudzakir belum bisa berkomentar banyak. Dia mengatakan pemerintah saat ini sedang menyiapkan peraturan pemerintah tentang pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Skema PPPK itu, kata Mudzakir memungkinkan menjadi solusi bagi para honorer yang usianya lebih dari 35 tahun. Terkait dengan profesi apa saja yang bakal masuk dalam PPPK, Mudzakir meminta untuk menunggu penetapan. Namun beredar informasi bahwa PPPK digunakan untuk tenaga fungsional. Diantara tenaga fungsional adalah guru. Sementara itu, pihak Istana enggan berkomentar lebih jauh terkait desakan para pegawai honorer yang menolak batas usia pendaftaran CPNS. Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Adita Irawati menilai penentuan merupakan kewenangan Kemenpan RB. “Ini domain di sana (Kemenpan),” ujarnya saat dikonfirmasi kemarin. Saat disinggung soal aksi mogok yang dilakukan para pegawai honorer di sejumlah daerah, lagi-lagi dia juga enggan menanggapi. “Sebaiknya ditanyakan dulu ke MenPAN RB ya,” imbuhnya. Aksi demonstrasi guru honorer kategori dua (K-2) juga terjadi di Kabupaten Bogor kemarin. Ketua Perkumpulan Guru Honorer (PGH) Kabupaten Bogor Halim Sahabudin mengatakan, peserta aksi mencapai 6.700 guru lebih atau hampir separo jumlah guru honorer di Kab. Bogor sebanyak 14 ribu orang lebih. Halim mengaku kecewa dengan kebijakan rekrutmen CPNS baru. Khususnya terkait pembatasan usia pendaftar. Dia menjelaskan akibat kriteria tersebut, kuota formasi guru untuk kategori honorer K-2 di Kabupaten Bogor hanya 185 orang. Atau sekitar 1,3 persen dari jumlah guru tenaga honorer. Kuota tersebut sungguh tidak berimbang. Guru SD berusia 48 tahun itu mengatakan, secara pribadi kesempatannya untuk menjadi CPNS juga sudah tertutup. Padahal dia sudah menjadi guru honorer sejak 2004 silam. Kata dia, banyaknya guru honorer yang tidak bisa mendaftar, karena usia lebih dari 35 tahun, sejatinya dampak dari kebijakan pemerintah sekarang. Halim tidak begitu sepakat jika aksi menuntut status kepegawaian dan kesejahteraan itu disebut mogok, apalagi menelantarkan siswa. “Sebenarnya kami menitipkan siswa ke guru PNS atau kepala sekolah. Wajar (kami) menuntut hak,” katanya. Apalagi selama ini guru honorer juga sering dititipi siswa ketika para guru PNS mengikuti kegiatan di luar sekolah. “Jadi gantian lah,” cetusnya. Dia menjelaskan, pengangkatan atau seleksi honorer jadi CPNS yang terakhir terjadi pada 2013. Selama sekitar lima tahun ke belakang, tidak pernah ada pengangkatan CPNS dari guru honorer. “Selama masa Presiden Joko Widodo tidak ada pengangkatan honorer,” tuturnya. Dari foto yang beredar, hampir seluruh guru yang berunjuk rasa di Kabupaten Bogor berseragam batik Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi membenarkan bahwa aksi di Bogor tersebut dimotori oleh guru-guru PGRI. “Saya juga tahu bakal ada aksi tersebut,” katanya tadi malam. Menyikapi semakin banyaknya aksi guru honorer, PGRI kemarin mengadakan rapat pleno. Hasil rapat pleno akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo dan menteri terkait. Seperti Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Menteri Keuangan, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Rapat pleno memutuskan sikap PGRI bahwa rekrutmen CPNS sebaiknya ditunda lebih dahulu. “Terkait dengan perkembangan situasi terkini. Yang dipandang tidak memberikan rasa keadilan,” tegasnya. Dia menuturkan, rekrutmen CPNS sebaiknya dihentikan hingga ada kejelasan sikap pemerintah untuk menuntaskan status kepegawaian honorer. Di dalam rapat pleno tersebut PGRI juga berharap tenaga honorer diberikan kelonggaran untuk ikut seleksi CPNS. Di antaranya, mengubah pembatasan usia maksimal dari 35 tahun menjadi 45 tahun. Pertimbangannya karena sudah lama tidak ada rekrutmen CPNS baru dari tenaga honorer. “PGRI juga meminta pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah tentang PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, Red.),” jelasnya. Selama ini PGRI menilai pembahasan PP tentang PPPK di pemerintah jalan di tempat. Padahal dengan adanya status sebagai PPPK itu, nasib honorer lebih ada kejelasan. Unifah mengatakan jika bisa mendapatkan status PPPK, tenaga honorer bisa mendapatkan jaminan sosial kesehatan maupun ketenagakerjaan. Selain itu guru honorer yang sudah menjadi PPPK berpeluang ikut sertifikasi untuk mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Unifah juga mengatakan durasi kontrak guru sebagai PPPK bisa lebih lama dari saat ini yang hanya setahun sekali. Kata dia, durasi kontrak kerja yang hanya setahun sekali tidak bisa membuat guru honorer bekerja dengan tenang. Sebab tidak ada jaminan tahun depan apakah tetap bisa menjadi guru atau tidak. Sekjen Front Pembela Honorer Indonesia (FPHI) Nur Rambe mengatakan aksi mogok para guru honorer berluang semakin besar ketika pendaftaran CPNS resmi dibuka nanti. Sebab saat itu bakal menjadi pembuktian apakah tenaga honorer yang usianya lebih dari 35 tahun bisa mendaftar CPNS baru atau tidak. “Kita sepakat tunggu momen. Kapanpun dibuka pendaftaran CPNS, maka besoknya honorer izin tidak masuk kerja selama satu bulan,” kata dia. Sementara itu terkait mogok yang dilakukan guru honorer disesalkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Muhadjir yang ditemui setelah rapat kerja dengan DPR kemarin, mengimbau agar aktivitas mengekspresikan pendapat dapat meninggalkan kegiatan belajar mengajar (KBM). “Kalau itu terjadi maka akan mengurangi kadar profesionalisme dia sebagai seorang tenaga didik,” ungkapnya. Ketika ditanya mengenai langkah lebih lanjut untuk keberlangsungan nasib honorer, Muhadjir menuturkan bahwa dirinya tak memiliki otoritas untuk menjawab. Sebab hal itu sudah menyangkut kewenangan Kementerian PAN-RB. “Kami sudah menyampaikan quota dan rambu-rambu yang bisa dijadikan dasar pertimbangan untuk rekruitmen,” katanya. Kemendikbud, menurut Muhadjir, sudah memberikan usulan yang menjadi polemik dari guru honorer. Saat rapat di Kantor Wakil Presiden, Muhadjir mengusulkan kuota guru honorer untuk CPNS ditambah. “Termasuk juga mereka yang sudah mengabdi supaya ada pertinbangan,” tuturnya. Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang itu masih berharap jika aksi mogok tidak berlanjut. “Jangan mogok lah karena ini menyangkut anak didiknya ,” katanya. Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan mengatakan bahwa ada formasi khusus tenaga honorer. Pemerintah memberikan kuota sebesar 13.347 orang untuk satu Indonesia. “Silakan nanti bersaing antar masing-masing dari mereka. Namun usia yang bisa daftar tetap dibawah 35 tahun,” ungkapnya. Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 36 Tahun 2018 mengatur syarat administrasi bagi tenaga pendidik dan tenaga kesehatan tenaga honorer kategori II berusia maksimal 35 tahun pada 1 Agustus 2018. Pelamar juga harus aktif bekerja hingga pendaftaran CPNS tahun ini. Ridwan menegaskan bahwa menaikan usia belum tentu memuaskan seluruh pihak. Dia mencontohkan jika undang-undang diubah dan memperbolehkan usia 40 tahun mendaftar maka akan datang protes dari usia yang lebih dari 40 tahun. (jpg/bha)

Sumber: