Di Kota Besar, Ada Rumah Rp 100 Jutaan
Reporter:
Redaksi Tangeks|
Editor:
Redaksi Tangeks|
Senin 17-04-2017,08:40 WIB
Harga rumah di kota-kota besar kian tak terjamah. Gara-garanya, pertumbuhan pendapatan tak selaras dengan kenaikan harga rumah. Solusinya, pemerintah pun menyiapkan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Menko Perekonomian Darmin Nasution baru-baru ini melontarkan pernyataan mengejutkan. Dia mengungkapkan, dalam beberapa tahun ke depan generasi muda tak mampu membeli rumah idaman. Saat ini pun, karyawan dengan gaji bersih Rp 6 juta–Rp 7 juta per bulan masih kesulitan untuk membeli hunian di kota besar dengan harga Rp 300 juta–Rp 500 juta. Lalu, bagaimana dengan MBR yang rata-rata berpenghasilan Rp 2,5 juta–Rp 4 juta sebulan?
Untuk memenuhi permintaan rumah bagi MBR, pemerintah sudah menyiapkan program sejuta rumah. Khusus untuk program itu, tahun ini disediakan Rp 15,6 triliun dari APBN, antara lain, untuk subsidi uang muka dan bunga. Dengan subsidi tersebut, harga rumah tapak ditetapkan maksimal Rp 141 juta untuk wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) serta Rp 123 juta di Jawa di luar wilayah tersebut. Dengan harga sebesar itu, diharapkan MBR mampu mencicil rumah.
Contohnya Wahyudin, 27, yang kini lega karena baru saja menyelesaikan wawancara dan tidak lama lagi melakukan akad kredit pembelian rumah. Menurut dia, rumah yang berlokasi di Tigaraksa, Tangerang, tersebut sudah 100 persen terbangun dan siap huni. Karena itu pula, berdasar informasi yang diterima, setelah semua persyaratan terpenuhi, akad kredit bisa dilaksanakan dan rumah bisa langsung dihuni. ”Nanti berkas komplet, langsung diverifikasi, lalu akad kredit,” terangnya kemarin (16/4).
Perjalanan Adit untuk bisa memiliki rumah murah tidak semulus Wahyudin. Adit sudah melunasi uang muka pada Februari. Persyaratan yang diminta developer dan bank pun sudah dipenuhi. Adit mengatakan, developersempat memberi tahu bahwa proses wawancara akan dilaksanakan setelah 50 persen uang muka dibayarkan. ”Waktu itu bilangnya sekitar Oktober–November. Tapi, sampai uang muka lunas, belum juga ada kabar,” ungkap Adit yang mengambil rumah di kawasan Parung Panjang.
Dengan belum terlaksananya wawancara, proses akad kredit pun tak bisa dipastikan. Adit menyatakan, diterima atau tidaknya pengajuan kredit ke bank ditentukan dari wawancara. Jika wawancara saja belum ada kejelasan, berarti belum ada keputusan apakah dia layak atau tidak mendapatkan fasilitas itu. Di sisi lain, teman Adit yang juga mengambil rumah murah mendapat informasi bahwa proses pengajuan kredit molor gara-gara developer tersebut masih terganjal perizinan. ”Katanya ada masalah dengan IMB. Nanti saya tanyakan langsung,” ungkapnya.
Rumah sudah terbangun 100 persen memang jadi syarat yang diminta BTN untuk terjadi akad kredit. Corporate Secretary PT BTN Tbk Eko Waluyo mengungkapkan, untuk bisa mendapatkan rumah sejahtera alias rumah subsidi, masyarakat harus terlebih dahulu membawa uang muka. Jumlah uang muka bergantung kesepakatan user dengan pengembang.
Setelah itu, pengembang wajib membangun rumah beserta fasilitas umum. Rumah yang dibeli harus selesai dibangun hingga 100 persen. Barulah user bisa melakukan akad kredit. ”Akad KPR subsidi dapat dilakukan apabila rumah sudah selesai 100 persen. Air bersih sudah ada dan berfungsi, jalan minimal perkerasan, saluran sudah ada dan berfungsi, listrik sudah ada, minimal (pengembang) sudah bayar penyambungan ke PLN,” ungkapnya.
Dari situ sudah jelas, pengembang wajib membangun rumah beserta fasilitas umumnya. Sebelum proses akad kredit dilakukan, petugas bank menyurvei rumah yang akan dibeli. Petugas mengecek apakah rumah sudah benar-benar selesai dibangun serta apakah fasilitas umum seperti jalan, listrik, dan air telah terpasang. Setelah itu, petugas bank memotret rumah tersebut. Foto itu kemudian menjadi bukti kelayakan realisasi kredit.
Eko menegaskan, user tidak bisa melakukan akad jika rumah yang dibeli belum dibangun 100 persen. Di sisi lain, pengembang juga tidak bisa menjanjikan kepada user bahwa akad bisa dilakukan selagi rumah masih dalam proses pembangunan. Sebab, jika akad terjadi sebelum rumah selesai dibangun, lalu bank menyalurkan uang sisa harga jual rumah dikurangi uang muka yang sudah dibayarkan, user berisiko rugi.
Jika hal tersebut terjadi, tidak ada jaminan pengembang benar-benar menyelesaikan pembangunan rumah sampai 100 persen setelah mendapat uang realisasi dari bank. Jika ada pengembang yang tidak juga menyelesaikan pembangunan setelah uang muka dibayarkan user dalam jangka waktu lama, bank juga akan menagih kepada pengembang. Tujuannya, segera terjadi akad kredit.
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin menyatakan, pengawasan menjadi hal penting dalam program rumah murah. Menurut dia, ada tiga unsur yang punya fungsi pengawasan terhadap program pemerintah tersebut agar bisa berjalan lancar. Yang pertama adalah pengembang. Pengembang bukanlah kontraktor. Untuk membangun rumah, mereka akan meminta bantuan kontraktor. ”Mereka baru bayar setelah hasilnya selesai dan sesuai spek. Pengembang otomatis akan terus mengawasi berjalannya pembangunan,” terangnya.
Unsur kedua yang punya fungsi pengawasan adalah pembeli. Pembeli harus kritis agar semua fasilitas yang dijanjikan pengembang bisa terbangun sesuai janji mereka. Pembeli haruslah proaktif untuk rutin bertanya mengenai progres pembangunan atau progres pengajuan kedit ke pihak terkait. ”Yang tidak kalah penting adalah pengawasan dari bank penyedia kredit. Bank harus terus memantau pembangunan sampai dengan selesai. Dengan pengawasan dari unsur-unsur itu, harapannya tidak ada pembangunan yang sifatnya asal-asalan,” tambahnya.
Syarif menyadari betul, dengan adanya batas harga rumah murah, masalah kualitas menjadi isu yang kemudian berkembang. Pembangunan rumah mau tidak mau dibuat minimalis untuk menekan harga jual agar sesuai dengan batasan yang ditentukan pemerintah. Syarif mengatakan, rumah murah memang mengutamakan harga yang murah. ”Tapi, tentu semua harus sesuai dengan standar umum rumah layak huni. Luas minimal 36, ada listrik dan air, kamar mandi, serta fasilitas umum untuk material, itu diserahkan ke masing-masing pengembang,” jelas dia.
Sementara itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menuturkan, bila ada kasus sampai pengembang perumahan subsidi mengemplang uang MBR, pihak kepolisian berwenang mengusutnya. Dia meminta perkara tersebut bisa diusut secara tuntas. ”Kita ikuti kasus hukumnya,” ujar Basuki. (and/rin/jun/c10/oki)
Sumber: