HOTS di UNBK Menuai Kritik
JAKARTA – UNBK (ujian nasional berbasis komputer) tingkat SMA dan SMP sederajat diujikan soal yang membutuhkan daya nalar tingkat tinggi atau yang disebut HOTS (higher order thinking skills). Tujuannya ialah meningkatkan kualitas ujian nasionaltersebut. Sebagai langkah awal, baru 10 persen dari jumlah soal yang didesain memerlukan daya nalar tinggi. Berikutnya, berdasar evaluasi, porsi soal HOTS itu dinaikkan secara bertahap. Apa tanggapan para siswa? Saat diterapkan di UNBK SMA pada 9 hingga 12 April lalu, langsung terjadi kehebohan. Melalui media sosial, para peserta UNBK SMA mengungkapkan keluh kesah mereka. Sebagian besar menilai soal UNBK, terutama untuk mata pelajaran matematika, fisika, dan kimia bagi peserta UNBK jurusan IPA, tidak sesuai dengan apa yang diajarkan. Sedangkan untuk peserta ujian jurusan IPS, soal yang dinilai tak sesuai dengan kisi-kisi yang diberikan adalah matematika dan ekonomi. “Parah, soal UN matematikanya susah banget. Percuma belajar siang malam pagi sore, nggak ada yang keluar,” ungkap akun Twitter @_putrilee. Akun lainnya, @anon2585, malah meminta Mendikbud mengerjakan soal matematika agar tahu susahnya soal UNBK matematika pada tahun ini. “Coba Pak, sekali kali kerjain UN matematika yang sekarang, biar bapak tau betapa susahnya kita mengerjakan soal soal yang bapak kasih,” keluhnya. Pakar pendidikan sekaligus praktisi pembelajaran abad ke-21 Indra Charismiadji mengatakan, HOTS merupakan konsep reformasi pendidikan yang dimulai pada abad ke-21. Tujuannya, proses pendidikan dapat mencetak sumber daya manusia yang mampu menghadapi revolusi industri 4.0. Pada era revolusi industri 4.0, sumber daya manusia tidak sebatas menjadi pekerja yang mengikuti perintah. “Tetapi juga memiliki keterampilan abad XXI,” ujarnya kepada Jawa Pos. Keterampilan abad ke-21 itu adalah manusia yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, berkolaborasi, berpikir kritis, dan mampu menyelesaikan masalah, lalu kreatif serta mampu berinovasi. Indra menerangkan, HOTS dilandasi taksonomi pembelajaran yang dicetuskan psikolog pendidikan asal Amerika Serikat Benjamin S. Bloom pada 1956. Taksonomi itu kemudian direvisi murid Bloom sendiri, yakni Lorin Anderson, pada 2001. Lorin mengelompokkan keterampilan berpikir atau kognitif manusia dari tingkat paling rendah ke paling tinggi. “Terdapat enam tingkat kemampuan berpikir tersebut,” kata Indra. Dimulai dari level paling rendah, yakni menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, menilai, dan tingkat yang paling tinggi adalah mencipta. Pada ruang lingkup UN, kalau soal ujiannya dalam tahap hafalan, siswa diajari bisa menghafal, tapi tidak bisa bertindak. ”Jika ini diteruskan, ada kekhawatiran cita-cita kehidupan bangsa sebagai bangsa yang maju sulit tercapai,” tuturnya. Pakar pendidikan sekaligus Ketua Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Pengurus Besar PGRI Mohammad Abduhzen mengkritik penerapan HOTS. Menurut dia, sebelum pemerintah menerapkan HOTS ke UN, sebaiknya konsep dan praktik pembelajaran dibenahi dulu. HOTS, tegas dia, bukan mata pelajaran dan juga bukan soal ujian. ”HOTS adalah tujuan akhir yang dicapai melalui pendekatan, proses, dan metode pembelajaran,” ucapnya. Melalui HOTS, diharapkan siswa memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi. Menurut Abduhzen, kekeliruan memahami konsep HOTS bisa berdampak pada kesalahan model pembelajaran. Kemudian membuat pembelajaran makin tidak efektif dan tidak produktif. (jpnn/mas)
Sumber: