OTT PN Tangerang, Tersangka 4 Orang
TANGERANG - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Tangerang pada Senin (12/3). Keempatnya yakni Wahyu Widya Nurfitri (hakim), Tuti Atika (panitera pengganti), dan dua orang advokat yakni Agus Wiratno dan HM Saipudin. KPK juga mengamankan uang sebesar Rp 30 juta. Putusan yang “diperjualbelikan” itu terkait perkara perdata wanprestasi (tidak terlaksananya janji) yang disidangkan di PN Tangerang. Agenda pembacaan putusan itu dijadwalkan kemarin (13/3). Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menerangkan, pemberian uang pelicin putusan itu berasal dari dua Agus Wiratno dan HM Saipudin. Pemberian uang diberikan dua tahap. Pertama Rp 7,5 juta pada 7 Maret dan sisanya Rp 22,5 juta pada saat OTT. “Diduga AGS (Agus) sebagai advokat memberikan hadiah atau janji kepada WWN (Wahyu Widya) selaku ketua majelis hakim,” ungkap Basaria dalam konferensi pers di gedung KPK, kemarin. Perkara yang menjadi objek suap itu bernomor 426/Pdt.G/2017/PN Tng dengan tergugat H. M, cs dengan permohonan agar ahli waris mau menandatangani akta jual beli melalui pemberian pinjaman utang sebelumnya. Nah, sebagai perwakilan tergugat, para advokat berupaya mempengaruhi putusan hakim agar menolak permohonan penggugat. Basaria pun prihatin atas kasus yang kembali melibatkan aparatur peradilan itu. “Sebenarnya tidak ingin represif OTT terhadap penegak hukum,” imbuh dia. Awalnya, panitera pengganti PN Tangerang Tuti Atika memberitahu Agus Wiratno, terkait putusan perkara. Agus kemudian memberikan Rp 7,5 juta sebagai ucapan terima kasih pada Tuti yang diteruskan ke Wahyu. “Saat itu Tuti diduga menyampaikan informasi pada Agus tentang rencana putusan yang isinya 'menolak putusan',” ucap Basaria. Agus kemudian menemui rekannya sesama advokat, HM Saipudin. Setelah berdiskusi, Agus--atas persetujuan Saipudin--memberikan Rp 7,5 juta ke Tuti. “Namun uang itu dinilai kurang dan akhirnya disepakati nilainya menjadi Rp 30 juta, kekurangan Rp 22,5 juta akan diberikan kemudian,” ujar Basaria. Uang suap Rp 30 juta yang diterima Wahyu diduga berasal dari pengacara. “Murni dari pengacara. Untuk sementara ada kesepakatan antara M sebagai pemilik tanah tadi. Ada success fee, 40-60 pembagiannya,” kata Basaria. Menurut Basaria, kesepakatan itu yang membuat pengacara menyuap hakim. Tujuannya, lanjut Basaria, agar perkara yang ditangani pengacara tersebut dimenangkan hakim. “Oleh sebab itu advokat ini semaksimal mungkin menang perkaranya. Sementara tidak ada uang yang mengalir dari pihak berperkara,” ucapnya. Atas perbuatannya, Wahyu dan Tuti dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan, Agus dan Saipudin disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara itu, tetangga serta warga sekitar kediaman panitera pengganti Tuti Atika banyak yang tidak menyangka jika tetangga mereka di Perumahan Sekretaris Negara (Sekneg) Blok D4/8, Kelurahan Panunggungan Utara, Kecamatan Pinang itu harus berurusan dengan lembaga antirasuah. “Saya baru tahu tadi siang (kemarin,red), kalau Ibu Tuti ditangkap KPK. Ibu-ibu di sini sih tidak menyangka kalau beliau sampai begitu,” ujar Wati, salah satu tetangga Tuti, yang ditemui bersama Ketua RT setempat, kemarin. Diakuinya, Tuti yang memiliki tiga anak perempuan dan satu laki-laki itu memang terkenal hampir tidak pernah bersosialisasi terhadap masyarakat sekitar, dikarenakan sibuk dengan pekerjaannya. “Beliau sudah tinggal di sini lama sejak tahun 90-an. Dia juga ikut arisan RT, tapi memang sibuk jadi nggak pernah kumpul seperti kegiatan pengajian rutin atau acara lainnya. Kalau kami sih memaklumi,” ungkapnya. Menurut dia, Tuti belum lama ini baru saja pulang melaksanakan umrah bersama putrinya. Pantauan Tangerang Ekspres kemarin sore di kediaman Tuti, terlihat mobil Toyota Rush warna abu-abu dengan nomor polisi B 186 ACA serta satu motor matik Honda Vario. Selepas magrib, sang suami sempat keluar rumah dengan mengenakan kaus serta sarung. Namun dia enggan memberikan pernyataan. “Kalau mau tanya, tanya saja ke pengacara itu,” ujarnya. Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada kemarin menyambangi PN Tangerang. Dia mengaku sudah ada informasi sebelumnya bahwa pengadilan ini termasuk salah satu yang menjadi target. “Ada informasi bahwa PN Tangerang ini adalah salah satu target karena memang perkara di sini kan hampir 5 ribu,” ungkapnya. Menurut dia, para hakim di PN Tangerang adalah hakim-hakim senior, yang penghasilannya di atas Rp25 juta. “Jadi sebenarnya kalau bicara kesejahteraan sudah cukup. Bicara tentang sistem yamg dibangun juga sangat bagus, bicara pengawasan dari MA juga sudah bagus, tapi untuk individu ini masih sulit untuk menemukan cara melakukan pencegahan,” tuturnya. Sementara Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi kemarin datang ke gedung KPK. Dia menyesalkan kasus tersebut. Apalagi, pada Senin (12/3) lalu, panitera pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi baru saja divonis bersalah oleh hakim terkait suap perdata pula. “Nilai (OTT) kecil, tapi korbankan nama baik, kami harap aparatur pengadilan hendaknya menjadikan ini pelajaran berharga,” tuturnya. Berkaitan dengan OTT tersebut, Komisi Yudisial (KY) yang bertugas sebagai lembaga pengawas eksternal MA menyatakan bahwa kejadian itu merupakan pukulan telak bagi peradilan tanah air. Sebab, bukan kali pertama pegawai maupun pejabat yang bertugas di MA maupun badan peradilan di bawahnya terseret kasus tindak pidana korupsi. “Kita bisa menyebutnya oknum pada saat terjadi hanya sekali pada kurun waktu tertentu,” ungkap Juru Bicara (Jubir) KY Farid Wajdi kemarin. Tapi, sambung dia, lain halnya apabila kejadian itu lebih dari satu atau dua kali. Melainkan terus berulang dari waktu ke waktu. Pria yang akrab dipanggil Farid itu pun menyampaikan bahwa bukan tidak mungkin kejadian serupa kembali terulang. “Jika sebagian besar rekomendasi KY tidak dijalankan oleh MA dan selama peradilan tidak benar-benar mau berubah,” bebernya. Dia mengakui, selama ini MA sudah melakukan banyak hal untuk berbenah diri. Namun demikian, Farid menilai itu belum cukup. KY berharap besar upaya tersebut turut dilakukan dengan menindaklanjuti rekomendasi sanksi yang diajukan oleh mereka. Dia mencontohkan, sepanjang tahun lalu tidak kurang 58 hakim dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). “Tapi, tidak semua rekomendasi sanksi itu langsung ditindaklanjuti dengan berbagi alasan,” imbuhnya. Farid pun menyampaikan bahwa isu praktik curang berkaitan dengan suap dan gratifikasi di badan peradilan cukup dominan. Setidaknya itu tergambarkan dari sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) sejak 2009. “Kasus suap dan gratifikasi cukup mendominasi hingga sekarang,” ujarnya. Dari total 49 kali sidang MKH, 22 di antaranya dilaksanakan berdasar laporan terjadinya praktik suap dan gratifikasi. Jika dipersentasikan angka itu setara 44,9 persen dari keseluruhan sidang MKH. “Praktik suap dan isu jual beli perkara ini juga selalu menghiasi sidang MKH pada setiap tahunnya,” terang Farid. Dia juga menjabarkan bahwa enam tahun belakangan tidak kurang 28 pegawai maupun pejabat MA dan badan peradilan di bawahnya masuk pusara kasus tindak pidana yang diusut oleh KPK. “Dari 28 orang itu rinciannya 17 hakim dan sembilan panitera atau pegawai pengadilan,” ujarnya. (mg-04/jpg/det/bha)
Sumber: