Sidang Dahlan, Mantan Dewan Beber Fakta 15 Tahun Silam

Sidang Dahlan, Mantan Dewan Beber Fakta 15 Tahun Silam

Anggapan jaksa bahwa pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim melanggar karena tidak ada izin DPRD Jatim salah kaprah. Dua anggota DPRD Jatim periode 1999-2004 yang terlibat dalam rapat-rapat dengan direksi PT PWU pada 2002 menegaskan bahwa pelepasan aset tidak perlu izin DPRD karena mengikuti Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT).

Dua mantan anggota DPRD Jatim itu adalah Dadoes Soemarwanto (ketua komisi C) dan Farid Al Fauzi (anggota komisi C) Keduanya menjadi saksi untuk Dahlan Iskan di Pengadilan Tipikor Surabaya kemarin (31/3). Dalam keterangannya, Dadoes menjelaskan bahwa komisi C merupakan mitra kerja BUMD milik Pemprov Jatim, salah satunya PWU.
Komisi C yang dipimpinnya tersebut pernah mendapatkan disposisi surat dari pimpinan DPRD. Surat itu terkait dengan permintaan izin pelepasan aset PWU. Surat tersebut ditindaklanjuti dengan menggelar rapat dengar pendapat (RDP) beberapa kali dengan melibatkan sejumlah pihak.

Dadoes menyatakan, dalam pembahasan pelepasan aset memang sempat terjadi perbedaan pendapat. Ada yang menyebutkan bahwa pelepasan aset perlu persetujuan DPRD sesuai pasal 14 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 1999. Tapi, banyak juga anggota dewan yang menyatakan bahwa pelepasan aset tak perlu izin DPRD. Cukup mengacu UU PT karena bentuknya perseroan.

Karena itulah, komisi C beberapa kali menggelar RDP untuk mendapatkan kepastian hukum terkait pelepasan aset PWU. Mereka menghadirkan pihak-pihak yang kompeten. Ada pihak dari biro perekonomian pemprov, biro hukum, dan para pakar di bidangnya. Bahkan, komisi C meminta pendapat dan saran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). "Dari situ akhirnya didapat kesimpulan yang sama. Kalau BUMD sudah berbentuk PT, sudah tidak ada lagi kewenangan dewan un­tuk membahas pelepasan asetnya," kata Dadoes.

Dari hasil RDP itu, komisi C lantas membuat rekomendasi ke pimpinan DPRD. "Komisi C bulat menyatakan bahwa pelepasan aset PWU diproses sesuai UU PT. Jadi tidak perlu izin DPRD karena sudah bukan kewenangan kami," kata pria yang pernah menjadi anggota DPR (2009-2014) itu.

Rekomendasi komisi C tersebut, menurut Farid Al Fauzi, tidak ditelan mentah-mentah oleh pimpinan DPRD saat itu. Mereka terlebih dulu melakukan evaluasi. Seluruh pimpinan fraksi diundang pimpinan DPRD dalam rapat membahas rekomendasi komisi C tersebut. "Kebetulan, selain anggota komisi C, saya saat itu pimpinan fraksi. Jadi, saya tahu detailnya," jelas Farid.

Semua pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi akhirnya sependapat dengan rekomendasi komisi C. Dari situlah Ketua DPRD (saat itu) Bisjrie Abdul Djalil mengeluarkan surat bernomor 38/PWU/ 02/II/2002. Dalam surat tertanggal 24 September 2002 itu disebutkan, sesuai hasil RDP antara komisi C dan PWU, diputuskan pelepasan aset diproses sesuai dengan UU PT. Surat tersebut sekaligus merupakan jawaban atas permintaan izin yang diajukan PWU.

Agus Dwiwarsono, salah seorang kuasa hukum Dahlan Iskan, sempat mempertanyakan apakah surat yang ditandatangani ketua DPRD itu diparipurnakan? Farid mengatakan, tak semua keputusan DPRD harus diparipurnakan. Menurut dia, keputusan yang bersifat teknis dan normatif tidak harus diparipurnakan. Cukup rapat pimpinan dengan perwakilan fraksi-fraksi.

"Malu kita kalau apa-apa diparipurnakan. Tapi, surat-surat masuk maupun keluar selalu dibacakan dalam rapat paripurna. Termasuk surat-surat terkait pelepasan aset PWU," jelas pria yang kini duduk di Komisi VII DPR itu.

Meskipun tidak diparipurnakan, surat dari ketua DPRD tersebut tetap mewakili lembaga. Farid dan Dadoes memastikan bahwa surat itu bukanlah surat pribadi. Sebab, selain telah dibahas bersama pimpinan fraksi, surat menggunakan kop, stempel, dan nomor resmi DPRD Jatim.

Dadoes dan Farid juga menjelaskan, saat itu seluruh anggota Komisi C DPRD Jatim tahu bahwa PWU sedang menghadapi banyak masalah. Utangnya banyak; asetnya juga tidak terurus. Itu terjadi hampir di semua BUMD.

Jaksa Trimo dan Ketua Majelis Hakim Tahsin sempat menanyakan bunyi pasal 14 Perda 5/1999. Inti pasal itu menyebutkan bahwa pelepasan aset dilakukan setelah mendapatkan izin DPRD Jatim. Menjawab hal tersebut, Farid masih ingat persis saat mencari jawaban itu. Komisi C berkonsultasi dengan pakar dan mendatangi Kemendagri di Jakarta.

Dari konsultasi tersebut, komisi C mendapat jawaban bahwa pelepasan aset di BUMD berbentuk PT mengikuti UU PT. Sedangkan ketentuan bahwa pelepasan aset setelah ada izin dewan hanya diatur dalam Perda 5/1999. Karena perda dan UU bertentangan, yang berlaku adalah peraturan yang tingkatnya lebih tinggi, yaitu UU. "Urutan perda tidak ada apa-apanya dibanding undang-undang. Makanya, pasal ini (pasal 14 Perda 5/1999, Red) tidak dijadikan acuan," jelasnya.

Menurut Farid, seharusnya semua dokumen RDP bisa diakses di Sekretariat DPRD Jatim. Sebab, semua kegiatan terdokumentasikan dalam bentuk dokumen tulisan dan rekaman. Farid sempat meminta kepada hakim agar dokumen dan rekaman itu dijadikan barang bukti serta dibuka di persidangan.

Tahsin menyatakan sebenarnya ingin mendapatkan dokumen tersebut. Namun, menurut Sekretaris DPRD Jatim Ahmad Jaelani, semua dokumen itu sudah tidak ada. Mendengar jawaban hakim tersebut, Farid heran. "Kok bisa tidak ada ya? Pasti ada," cetus pria kelahiran Bangkalan itu.

Jaksa Trimo berusaha mencari celah. Dia menanyakan apakah DPRD Jatim menjalankan fungsi kontrol setelah keluarnya surat ketua dewan tersebut? Farid menerangkan, setelah adanya surat itu, PWU masih dipanggil beberapa kali untuk RDP. "Saya masih ingat kok. Bahkan, pernah di bulan puasa kami rapat bersama sampai malam. Katanya, ada aset yang dikuasai orang lain dan mau dijual," tegas Farid. Selain itu, PWU mengirimkan laporan kinerja ke dewan.

Selama ini jaksa memang menuding penjualan aset PWU melanggar Perda 5/1999 karena tidak mendapatkan izin DPRD. Tudingan tersebut dikonstruksikan dengan menghadirkan saksi yang tidak kompeten. Yakni Ahmad Jaelani, sekretaris DPRD Jatim saat ini yang sama sekali tidak mengetahui pembahasan aset PWU di dewan pada 2002.

Jaksa juga tidak meminta keterangan para mantan anggota komisi C, baik dalam penyidikan maupun pemeriksaan perkara di persidangan. Mereka beralasan, keterangan Jaelani sudah cukup. Padahal, yang dijelaskan Jaelani jauh dari fakta yang terjadi 15 tahun lalu.

Saksi Ahli Kuatkan Keterangan Dadoes dan Farid 

Kesaksian Dadoes dan Farid dikuatkan keterangan saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Mereka adalah Prof Dr Nur Basuki Minarno dan Dr Emanuel Sujatmoko. Dalam sidang kemarin, Sujatmoko menjelaskan, sesuai pasal 3 ayat 2 Permendagri 3/1999, BUMD yang berbentuk perseroan tunduk pada UU PT.

Tahsin bertanya apakah kerugian yang muncul dalam BUMD bisa selalu dikatakan kerugian negara. Emanuel menjelaskan tidak bisa serta-merta. Kata dia, kerugian negara terjadi kalau ada perbuatan melawan hukum. "Kerugian BUMD belum tentu kerugian negara. Dapat terjadi kerugian kalau ada tindak pidana, ada aturan perundang-undangan yang tidak dipenuhi," jawabnya.

Prof Nur Basuki menambahkan, direksi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana atau perdata ketika laporan pertanggungjawaban (LPj)-nya sudah diterima RUPS. "Kalau sudah dilaporkan dan diterima, pertanggungjawaban beralih ke korporasi," ucapnya.

Menurut Nur Basuki, mekanisme tersebut diatur dalam rangka memberikan kepastian. Sebab, jika tidak begitu, bila saat ini menjadi direksi, seseorang bisa jadi dituntut pidana 20 tahun kemudian karena dianggap melakukan pidana. Padahal, LPj direksi saat itu sudah diterima dan disetujui RUPS. Kecuali RUPS tidak menerima LPj direksi, menjadi tanggung jawab direksi.

Nur juga membahas status audit kerugian negara yang dikeluarkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta dijadikan bukti oleh jaksa. Guru besar ilmu pidana Unair tersebut sudah melakukan penelitian terhadap semua peraturan perundang-undangan yang ada terkait kewenangan BPKP dalam melakukan audit kerugian negara.

Menurut Nur, dalam UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU tentang Tanggung Jawab Keuangan Negara disebutkan, yang berhak melakukan audit adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal itu dipertegas lagi dalam UU BPK. "Semua undang-undang memberikan kewenangan kepada BPK. Tidak ada yang memberikan kewenangan kepada BPKP," tegasnya.

Terkait bukti audit BPKP yang dibawa kejaksaan, Nur mengatakan bahwa BPKP melakukan audit tersebut karena ada MoU antara BPKP dan kejaksaan. Menurut dia, MoU tidak melahirkan kewenangan. Padahal, wewenang lahir dari mandat, atribusi, dan delegasi, bukan dari MoU. "Kalau tidak punya kewenangan, apa pun hasilnya, harus dinyatakan tidak sah. Dan tidak punya kekuatan pembuktian," tandasnya.

Jaksa Trimo menanyakan, jika berkesesuaian dengan alat bukti lain, apa hasil audit masih bisa dijadikan bukti. Nur menjawabnya dengan balik bertanya apakah BPKP punya kewenangan audit. Sebab, untuk melakukan audit, harus ada dasar hukumnya.

"Barangkali JPU bisa membuktikan sebaliknya, saya akan koreksi. Tidak ada satu pun perundang-undangan yang mem­berikan kewenangan kepada BPKP untuk melakukan audit," ucapnya. Kalaupun melakukan audit, seharusnya audit internal. (atm/rul/bjg/tel/c9) 

Sumber: