BPIP Keluarkan Sikap dan Rekomendasi Terkait Ijtima MUI Tentang Pengucapan Salam Lintas Agama
Ketua BPIP dan rombongan saat kunker ke Nusakambangan.--
JAKARTA, TANGERANGEKSPRES.ID - Baru-baru ini MUI mengeluarkan Ijtima tentang Pengucapan Salam dan Ucapan Hari Raya Keagamaan. Ijtima ini, mendapat beragam respon. Terkait ini, BPIP mengeluarkan sikap dan rekomendasi. Berikut Sikap dan Rekomendasi BPIP.
Sikap BPIP Terhadap Hasil Ijtima MUI ke-8 Tentang Salam Lintas Agama dan Selamat Hari Raya Keagamaan
Pengantar
Indonesia adalah negara yang besar dengan berbagai suku, agama dan kepercayaan, ras, dan golongan. Kebhinnekaan ini adalah kekayaan yang harus kita pelihara dan jaga bersama. Toleransi antarumat beragama menjadi salah satu kunci
untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu, sebagai negara yang
berlandaskan Pancasila, Indonesia harus memperkuat semangat toleransi dan
keberagaman, bukan merusak sendi-sendi persatuan.
Kekuatan Indonesia juga tercermin dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang telah menjadi perisai dalam menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara sejak zaman nenek moyang kita sehingga toleransi, semangat pluralisme, dan kerukunan beragama telah hidup secara kultural menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia.
Kekayaan keberagaman dan eksistensi atas toleransi ini mendapatkan tantangan dari adanya organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang mencoba membangun hegemoni dengan tafsir tunggal mengenai pelarangan terhadap ucapan
salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan. Hal ini dianggap memiliki
dimensi peribadatan dan doa.
Terbitnya hasil ijtima ini akan berpotensi merusak kemajemukan bagi warga negara karena realitasnya bangsa Indonesia ini terdiri dari 714 etnis, keragaman agama, dan kepercayaan. Eksistensi ini telah berlangsung ratusan tahun hidup
berdampingan secara damai, sekaligus menjadi kearifan bangsa, sehingga negara tidak boleh tunduk kepada hasil ijtima yang menyebabkan terjadinya eksklusivitas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Secara eksistensi, MUI tercatat sebagai sebuah organisasi masyarakat yang harus tunduk dan taat pada Pancasila dan UU Organisasi Kemasyarakatan yang regulasi tersebut mengatur bahwa setiap ormas berkewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI. Penerbitan hasil ijtima MUI mengenai pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan, jelas menegasikan kewajiban ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf b UU
Organisasi Kemasyarakatan di atas.
SIKAP DAN REKOMENDASI BPIP
BPIP sebagai representasi negara yang bertugas menginternalisasi nilai-nilai Pancasila memiliki peran untuk memastikan kesatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara dapat terjaga agar eksistensi negara ini tidak diintervensi oleh dominasi kekuatan agama tertentu. Atas permasalahan ini BPIP memberikan respon:
1. Secara teologis, terdapat perbedaan antara agama dan pemikiran agama, agama dan penafsiran agama. Hasil ijtima adalah pemikiran agama yang memiliki tafsir yang majemuk bukan mutlak sehingga tidak memiliki kebenaran yang tunggal dan absolut. Hasil ijtima harus dibentuk atas perspektif yang luas, termasuk mempertimbangkan dokumen dan kesepakatan internasional seperti The Amman Message, 9 November 2004;
Marrakesh Declaration, 25-27 Januari 2016, tentang Hak-hak Minoritas Beragama di Dunia Islam; Abu Dhabi Declaration, 4 Februari 2019, tentang
Persaudaraan Umat Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Declaration on Human Fraternity for World Peace and Living
Togerher); juga kesimpulan seminar internasional, Universitas Al-Azhar, Kairo, 27-28 Januari 2020; serta harus diuji secara publik. Pancasila sebagai ijtihad yang sudah disepakati oleh semua pihak (sehingga menjadi ijma/konsensus tertinggi, terlengkap, dan paling mengikat/binding)
memiliki derajat keislaman yang telah diuji dan dibuktikan secara substantif. Pancasila tidak dihegemoni oleh ajaran agama tertentu, namun Pancasila merepresentasi substansi dari ajaran agama. Dalam negara Pancasila,
ajaran Islam yang bersifat “Ubuddiyyah” dipegang teguh secara pribadi dan menjadi spirit dan inspirasi dalam mengaktualisasi moralitas diri
menjadi manusia yang berkualitas dalam ber-“Mu’amalah”, baik bermuamalah secara sosial maupun berkenegaraan. Agama menjadi inspirasi batin dalam merepresentasikan nilai kemanusiaan
dan persatuan yang tinggi, sehingga semakin beragama seseorang, semakin ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
2. Secara sosiologis, hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan mengancam eksistensi Pancasila
dan keutuhan hidup berbangsa yang sejak dahulu kala telah terkristalisasi menjadi sebuah kearifan lokal. Tradisi ini telah menjadi bagian yang
diwariskan sejak ratusan tahun oleh nenek moyang kita. Keutuhan bangsa yang telah hidup ratusan tahun ini tidak boleh direduksi oleh kelompok
keagamaan tertentu yang berpotensi mempolarisasi, mendisharmonisasi, dan mendisintegrasi keutuhan berbangsa.
3. Secara yuridis Islam, hasil ijtima yang dibuat hanya memiliki daya yang mengikat secara internum umat muslim dalam forum keagamaan muslim, sehingga tidak boleh dipaksakan ke dalam forum publik secara eksternum karena akan mereduksi nilai-nilai persatuan dan penghargaan terhadap kemajemukan berbangsa.
4. Secara konstitutif, Pancasila sebagai dasar hukum tertinggi harus menjadikan seluruh kebijakan tunduk dan mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila menjadi pedoman dalam setiap penyusunan produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum.
5. Kehadiran negara dan peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi Pancasila di ruang publik demi terciptanya kesetaraan bagi setiap warga negara. Bahwa setiap yang telah menyatakan dirinya sebagai bangsa Indonesia, dan memiliki KTP Warga Negara Indonesia, wajib melaksanakan konsensus Pancasila, yang dalam hal ini dengan melaksanakan toleransi dan menghormati perbedaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. (*)
Sumber: