Pelaksanaan RA Perlu Pelibatan Lintas Sektor serta Terfokus
Jakarta - Reforma Agraria telah ada sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang diundangkan pada 24 September 1960. Pada era sekarang ini, Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan serta Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, sehingga membuat pelaksanaan Reforma Agraria sudah memiliki peraturan pelaksana. Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Surya Tjandra mengungkapkan bahwa Kementerian ATR/BPN sudah menjalankan kegiatan Reforma Agraria. Surya Tjandra mengatakan bahwa sudah banyak yang dilakukan, namun banyak juga yang memang perlu dikembangkan. "Terkait Redistribusi Tanah, untuk mewujudkan target 4,1 juta hektare dari Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) dan yang bisa melepaskan adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Terkait ini, Kementerian ATR/BPN sudah berdiskusi intens dengan Menteri LHK ataupun wakil menterinya bahkan dirjen mereka, baik melalui forum formal maupun secara khusus," ujar Wamen ATR/Waka BPN, saat menjadi narasumber dalam talkshow Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (Hantaru) melalui video conference, Senin (02/11/2020). Hal itu menjadi contoh bahwa eksekusi kegiatan Reforma Agraria tidak bisa dilakukan sendiri oleh Kementerian ATR/BPN, melainkan juga lintas sektor. "Ini perlu didukung setiap sektor, misalnya kita kerjakan, yang lain tidak, program ini tidak jalan. Begitu juga, apabila sektor lain mengerjakan namun kita tidak, maka Reforma Agraria tidak jalan," kata Wamen ATR/Waka BPN. Perpres Nomor 86 Tahun 2018 telah mengamanatkan pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), sebuah forum kerja bersama, yang beranggotakan pimpinan daerah, dinas terkait serta kantor pertanahan. Dalam program kerjanya, GTRA telah memfokuskan diri terhadap tema-tema tertentu (tematik), contohnya pembangunan potensi ekonomi di Pulau Jawa Bagian Selatan serta kegiatan, percepatan penyelesaian penyertipikatan tanah-tanah transmigrasi serta konteks Reforma Agraria bagi masyarakat adat di Provinsi Papua. "Melalui GTRA ini, kita cari solusi kreatif terhadap hal-hal tersebut. Selain itu, kita sudah keliling ke daerah-daerah terkait pelaksanaan Reforma Agraria. Untuk lingkungan Kementerian ATR/BPN, kita sudah mendapat dukungan dari seluruh jajaran dan untuk mempercepat komunikasi, kami sudah membuat kantor GTRA di Kantor Kementerian ATR/BPN di Jalan H. Agus Salim Nomor 58," ungkap Surya Tjandra. Surya Tjandra mengungkapkan bahwa dalam setahun ke depan, GTRA dapat merencanakan program kerja. Ia berharap pada tahun 2022, perencanaan kegiatan GTRA sudah selesai dan apabila tahap perencanaan selesai, GTRA bisa membuat prototipe dan model-model eksekusi program yang telah direncanakan. Harapannya pada tahun 2024 sudah selesai sehingga bisa dilaksanakan oleh pemimpin selanjutnya. "Tentunya masyarakat juga harus tahu, apa yang sudah kita lakukan belakangan ini sehingga kegiatan pelaksanaan Reforma Agraria juga perlu didokumentasi secara baik," imbau Wamen ATR/Waka BPN. Dalam talkshow tersebut hadir juga Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw mengatakan bahwa pembangunan wilayah Papua sudah dimulai sejak tahun 2012. Salah satunya melalui program pemberdayaan masyarakat adat dan menurutnya ini sudah termuat di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Papua. "Pembangunan ini sudah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 14B di mana negara mengakui masyarakat adat," ujar Bupati Jayapura. Dalam kepemilikan tanah di Papua, masyarakat adat dengan tanahnya tidak dapat dipisahkan. Bupati Jayapura megungkapkan bahwa terkait pertanahan di sana, Pemerintah Provinsi sudah membentuk tim khusus terkait pemetaan pertanahan, guna melakukan pendaftaran tanah milik masyarakat adat. "Selain itu, Pemerintah Provinsi bersama Kantor Pertanahan setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat serta civitas academica sudah membentuk Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA), yang direspon positif oleh kalangan masyarakat adat," kata Mathius Awoitauw. Kegiatan Reforma Agraria tidak bisa lepas dari aset reform dan akses reform, yang kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat. Menurut pegiat pemberdayaan masyarakat dari Provinsi Yogyakarta, Rika Fatimah esensi Reforma Agraria adalah indigenious genious /kejeniusan asli. "Jadi, yang namanya kepintaran itu tidak bisa dinilai dari gelar seseorang tetapi bagaimana manusia itu bisa blended dengan lingkungannya sehingga Reforma Agraria ini bergantung pada orangnya," kata Rika Fatimah. Berdasarkan hal ini, Rika Fatimah mengenalkan G2RT yaitu Global Gotong Royong Tetrapreneurship. Ia berangkat dari gotong royong, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. "Oleh karena itu, dalam G2RT, manusia itu aset dari Reforma Agraria dan program G2RT ini sudah disinergikan dengan GTRA, sehingga berjalan bersama-sama. Bersama-sama GTRA, G2RT ditarik ke ekonomi, sehingga menghasilkan empat pilar kewirausahaan, terdiri dari rantai wirausaha, pasar wirausaha, kualitas wirausaha serta brand wirausaha," ujar Rika Fatimah. (RH/JR/RK)
Sumber: