KA Jadi Favorit Pemudik, Efek Tiket Pesawat Mahal
JAKARTA-Jumlah penumpang kereta api (KA) musim mudik Lebaran melonjak. Hal ini dampak dari masih mahalnya harga tiket pesawat terpang. Tahun ini, jumlah pemudik menggunakan kereta api diperkirakan mencapai 6,4 juta orang atau naik 3,4 persen dibanding tahun lalu. "Musim mudik pasti ada kenaikan. Namun demikian modelnya tergantung ketersediaan tempat duduk," ujar Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI), Edi Sukmoro di Jakarta, Senin (27/5). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memprediksi jumlah pemudik yang menggunakan kereta api bertambah sekitar 3,4 persen dari 6.236.227 menjadi 6.449.172 orang. Hal itu berdasarkan data PT KAI, bahwa tiket kereta api untuk tujuan Jawa bagian Tengah dan Jawa bagian Timur, sudah terjual untuk H-7 dan H+8. Untuk di stasiun Gambir, Jakarta Pusat, rata-rata melayani 17 ribu penumpang. Sedangkan stasiun Pasar Senan 23 ribu penumpang per hari. "Penumpang di masa angkutan Lebaran 2019 total berjumlah 247 ribu penumpang per hari," ujar Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi. Dari laporan yang diterima, mantan direktur Angkasa Pura II itu mengatakan fasilitas dan sarana kereta api masih belum baik. Karena itu dia meminta kepada PT KAI untuk menindaklanjuti temuan tersebut. "Berdasarkan hasil temuan itu, perlu diperbaiki, sesuai dengan peraturan yang berlaku," ucap Budi. Sementara pengamat transportasi, Gerry Soejatman mengatakan, maskapai penerbangan memang membatasi kapasitas penumpang. Sehingga bukan suatu hal baru jika masyarakat banyak yang menggunakan moda transportasi kereta api. "Setiap Lebaran memang harga tiket mahal. Namun selalu dalam batasan tarif batas atas (TBA). Memang kapasitas yang disediakan maskapai tidak sebanyak biasanya, makanya banyak yang terpaksa beralih ke moda transportasi lain," ujar Gerry kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin. Gerry melajutkan, bahwa di musim Lebaran juga ada maskapai yang membatalkan penerbangan. "Flight dibatalin di musim Lebaran juga ada," pungkas Gerry. Maskapai Kurangi Rute Penurunan Tarif Batas Atas (TBA) yang diterapkan oleh pemerintah ternyata justru membebani maskapai. Maskapai penerbangan pun melakukan sejumlah penutupan rute-rute yang dinilai tidak menguntungkan untuk mengurangi beban keuangan akibat penurunan TBA. Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan penutupan rute tersebut dapat merugikan masyarakat di wilayah yang rutenya ditutup. “Akses ke sana akan sulit begitu pun dengan mereka juga akan kesulitan akses untuk ke wilayah lain,” ujarnya kemarin (27/5). Apalagi, beberapa rute yang ditutup merupakan rute yang menghubungkan beberapa wilayah ke Indonesia Timur seperti Langgur, Maluku Tenggara. Dia mengatakan jika memang pemerintah ingin maskapai tetap mempertahankan sejumlah rute yang telah ditutup maka harus konsisten dengan memberikan subsidi ke maskapai di rute tersebut. “Seperti rute Belitung-Singapura itu kan dibuka, tetapi pemerintah memberikan subsidi kepada Garuda sekitar Rp 8 miliar. Tetapi ternyata belum dibayarkan jadi pemerintah ya harus konsisten. Pada dasarnya maskapai kan tetap harus untung,” urainya. Sebelumnya, Garuda Indonesia memaparkan untuk mempertimbangkan menutup sejumlah rute akibat penurunan TBA. Selama ini, Garuda melakukan subsidi silang terhadap sejumlah rute yakni beberapa rute gemuk seperti Jakarta-Jogja, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Denpasar, Jakarta-Semarang dan lainnya mensubsidi rute yang rugi. Hanya saja, penutupan ini akan disesuaikan dengan kebijakan subsidi masing-masing pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah menyediakan subsidi, maka rute tetap diterbangi, namun jika tidak, akan ditutup. “Kami sudah tidak bisa mensubsidi dari jalur-jalur gemuk,” imbuh Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara. Dia memperkirakan pada April 2019 pihaknya akan mengalami kerugian lantaran menurunkan TBA sebesar 35 persen setara USD 18 juta per bulan. Sedangkan saat ini penurunan masih sekitar 15 persen maka masih setara dengan BEP (Break Even Point). Garuda menutup rute Singapura-Belitung serta akan mengurangi rute penerbangan ke Pulau Morotai, Maumere dan Bima. Salah satu alasannya lantaran bahan bakar di daerah tersebut jauh lebih mahal dibandingkan daerah lain. Selain itu, jam operasional di sejumlah rute tersebut juga terbatas hanya sampai jam 16.00 waktu setempat. Sehingga, jika terlalu malam perseroan harus mengeluarkan biaya tambahan seperti biaya parkir dan menginap kru maskapai. Jadi, sungguh tidak menguntungkan harga diturunkan, kita tidak bisa beroperasi di tempat tertentu. Kecuali kita diberi penugasan ya kita siap," tuturnya. Selain rute domestik, Garuda Indonesia juga akan mengurangi penerbangan ke sejumlah rute internasional seperti Amsterdam dari 6 kali menjadi 3 kali. “Impact-nya cukup banyak dari penurunan tarif ini. Kita cukup strict. Kalau sangat rugi kita tutup," jelasnya. Menurutnya, hanya di Indonesia ada aturan TBA atau Tarif Batas Bawah (TBB). Padahal, maskapai di Indonesia dinilai sulit berkompetisi di luar negeri karena terlalu banyak komponen pajak yang harus dipenuhi. “Harga pada 2016 mendapat teguran dari pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) karena Garuda menjual harga di bawah pokok produksi. Pada 2019 kita menjual di harga di atas pokok produksi, itu yang menjadi isu harga tiket mencuat,” urainya. Namun demikian, bisnis penerbangan Garuda masih tertolong dengan adanya penerbangan-penerbangan ke Jepang, Singapura, Jeddah atau Madinah sebagai pasar tradisional. Tapi, untuk bersaing, komposisi harga rata-rata Garuda, lanjut Ari, jauh di bawah negara lain. “Di Indonesia harga rata-rata per jam itu dalam rupiah kita paling rendah sendiri dibanding Jepang atau China, Amerika Serikat (AS), Eropa atau Australia. Ini proporsi waktu TBA masih tinggi, sekarang turun jadi turun lagi,” kata Ari. (fin/vir)
Sumber: