Ajax Amsterdam vs Tottenham Hotspur, Jegal Inggris

Ajax Amsterdam vs Tottenham Hotspur, Jegal Inggris

AMSTERDAM-Sudah 23 tahun, Ajax bekerja keras menembus partai final Liga Champions. Terakhir merasakan ketatnya partai puncak, pada 22 Mei 1996 di stadion Olimpico, Roma, Italia. Di partai final, Ajax harus puas sebagai runner up, setelah kalah adu penalti. Kans ke laga final terbuka lagi. Syaratnya mereka harus menuntaskan perlawanan salah satu wakil Premier League, Tottenham Hotspur. Setelah unggul satu bola di Tottenham Hotspur Stadium, London (1/5), minimal mereka tak sampai keok saat leg kedua di Johan Cruijff Arena, Amsterdam, dini hari nanti WIB. Dengan menyingkirkan Spurs, maka mereka seperti telah “membunuh” Premier League, kompetisi yang tak bersahabat dalam kariernya. Karena de Godenzonen, julukan Ajax, memutus kans klub-klub Inggris merasakan atmosfer final di Wanda Metropolitano, Madrid, 2 Juni nanti. Mencegah back to back klub Inggris di final. Dusan Tadic dan Daley Blind meninggalkan Premier League dalam momen yang tepat. Karena setelah keluar dari liga sepak bola Inggris dan merapat ke Ajax Amsterdam, keduanya langsung merangkai sukses di Liga Champions. Tadic-Blind bahkan berpotensi main di final perebutan Si Kuping Lebar, sebutan trofi Liga Champions, untuk kali pertama. ''Saya menikmati karier saya dengan Ajax. Kami mampu mendominasi setiap menghadapi klub mana pun,'' sebut Tadic, dalam wawancara kepada Voetbal International. Tadic bermain di Southampton selama empat musim dari 2014 hingga 2018. Selama berkarier di Premier League, Tadic tak pernah mampu membawa Soton melebihi Spurs capaiannya. Dusko, sapaan akrab Tadic, bahkan lebih sering merasakan kekalahan dari klub berjuluk The Lilywhites itu. Tujuh kali head to head melawan Hugo Lloris dkk sejak 2014, hanya sekali Tadic memenanginya. Striker timnas Serbia tersebut membeberkan alasan kenapa dia pergi dari Staplewood, kamp latihan Soton. Salah satu alasannya karena persaingan dengan Spurs. ''Jika Anda tak bermain melawan satu dari enam klub teratas (termasuk Spurs), maka Anda takkan mendominasi. Anda bisa-bisa menghabiskan banyak waktu tanpa bola,'' beber pemain yang sudah mencetak 24 gol dalam 32 kali penampilannya bersama Ajax. ''Di Premier League itu susah, karena Anda takkan banyak diproteksi. Rasanya 80 persen di sana itu pemain bertahan dan 20 persennya penyerang. Berbeda dengan kalau main di Eropa yang lebih terproteksi,'' tambah pemain 30 tahun itu. Tadic juga sempat merasakan jadi pemain asuhan Mauricio Pochettino, tactician Spurs saat ini, semasa masih di Soton. Blind tak semerana Tadic. Blind pernah mampu membantu Manchester United menekuk Spurs di Premier League. Walaupun musim lalu dia cuma duduk di bench saat United melawan Spurs. Dua kali dia main membela United, dua kali pula United takluk di tangan Spurs. Meski begitu dia masih bisa memahami gaya main Spurs dalam era Poche, sapaan akrab Pochettino. Leg pertama di London dia sebut belum sempurna. ''Masih ada celah. Tapi, kami paham, pemain Spurs akan bermain untuk segalanya. Jadi, itu yang harus bisa kami manfaatkan,'' beber bek tengah berumur 29 tahun itu. Pengetahuannya tentang gaya main Spurs itu yang kemudian ditularkan kepada rekan setimnya. Itu seperti yang diungkapkan oleh kapten Ajax, Matthijs de Ligt. Saat diwawancarai Hat Parool, Matthy, panggilan akrab De Ligt, mengklaim saran-saran Blind banyak membantu tim. Khususnya tacticus Erik ten Hag dalam menyiapkan skema main melawan Spurs. ''Kalau kami bermain dengan level tinggi, itu karena Daley. Dia yang mengajari saya apa itu arti penempatan posisi. Pengalamannya luar biasa dan murah hati,'' puji kapten termuda dalam sejarah Ajax itu. Selain Tadic dan Blind, ada pula gelandang Zakaria Labyad yang pernah berkarir di Inggris. Dia main di Fulham pada 2016. Berbeda dengan malam di London, malam di Amsterdam nanti ada Son Heung-min. Dia absen pada leg pertama karena akumulasi kartu. Comeback-nya Son bisa menjadi ancaman bagi Blind dan De Ligt. Gelandang Donny van de Beek mencoba menenangkannya. Dikutip Voetbal Primeur van de Beek menganggap efek Son tak ubahnya seperti Cristiano Ronaldo di Juventus. ''Dia (Son) pemain hebat. Tetapi, sehebat-hebatnya, Ronaldo saja masih bisa kami redam. Akan sangat indah jika kami sekarang bisa menaklukkannya (Son),'' koar van de Beek. (ren)

Sumber: