KPK Sesalkan Lambatnya Pemberian Sanksi oleh PPK

KPK Sesalkan Lambatnya Pemberian Sanksi oleh PPK

JAKARTA-Janji pemerintah untuk memberhentikan secara tidak hormat 2.357 pegawai negeri sipil (PNS) koruptor belum sepenuhnya terlaksana. Sampai kemarin (28/1) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat masih ada 1.964 PNS terpidana kasus korupsi yang belum dipecat secara tidak hormat. Baik di level pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, data tersebut diperoleh instansinya dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dia menyampaikan bahwa proses tersebut lambat akibat berbagai faktor. ”Mulai keengganan, keraguan, atau penyebab lain para pejabat pembina kepegawaian (PPK) dan beredaranya surat dari Lembaga Konsultasi dan Biro Hukum Korps Pegawai Republik Indonesia (LKBH) Korpri yang meminta menunda pemberhentian para PNS tersebut,” ungkap dia ketika diwawancarai kemarin. Alasan penundaan, lantaran LKBH Korpri sedang melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang tentang ASN. "Judicial review yang diajukan ke MK semestinya juga tidak jadi alasan untuk menunda aturan yang telah jelas tersebut," kata Febri di kantornya, Senin (28/1). Pria yang biasa dipanggil Febri itu menyampaikan bahwa pemberhentian secara tidak hormat terhadap ribuan PNS itu harusnya sudah selesai akhir bulan lalu. Namun demikian, hal itu ternyata tidak berjalan mulus dan tidak berlangsung sesuai rencana. ”KPK sangat menyayangkan rendahnya komitmen PPK baik di pusat atau pun daerah untuk mematuhi perundang-undanganan yang berlaku,” terang dia. Padahal, sambung Febri, sudah ada keputusan bersama di antara kementerian dan lembaga yang mengurus PNS. Bahkan, keputusan bersama itu sudah ditandatangani oleh menteri dalam negeri, menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, serta kepala BKN. ”Seharusnya hal ini dipatuhi,” ungkap mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut. Lebih lanjut, Febri mengungkapkan, instansinya mengimbau agar pimpinan setiap instansi serius menegakan aturan terkait pemberhentian secara tidak hormat terhadap PNS yang terbukti terlibat korupsi. ”Karena sikap kompromi terhadap pelaku korupsi, selain dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, juga berisiko menambah kerugian keuangan negara,” jelasnya. Bagaimana tidak, meski sudah berstatus terpidana kasus korupsi mereka masih mendapat penghasilan sebagai PNS. Sedangkan penghasilan PNS dibayar oleh negara. Sebagai contoh, Febri menyampaikan bahwa dari total 98 PNS di level pemerintah pusat yang harusnya diberhentikan secara tidak hormat, baru 49 orang yang mendapat sanksi itu. Sisanya sebanyak 49 orang masih berstatus PNS. Febri menjelaskan, di antara 49 orang itu tersebar di beberapa kementerian. Di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Pertanian. Namun begitu, ada juga kementerian yang cepat memproses pemberhentian secara tidak hormat PNS koruptor. KPK mencatat, Kementerian Perhubungan yang paling banyak memberhentikan PNS koruptor. Yakni sebanyak 17 PNS. Selain itu, Kementerian Agama juga cukup banyak memberhentikan PNS koruptor. Yakni 7 orang. Di luar 2.357 PNS koruptor, sambung Febri, ada 498 PNS yang juga terbukti melakukan korupsi sudah diberhentikan. ”Sehingga total PNS yang diberhentikan adalah 891 orang,” jelasnya. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengatakan memang benar bahwa masih 800-an PNS dengan putusan inkrah korupsi yang sudah dieksekusi pemberhentiannya. Sementara ribuan sisanya sampai sekarang belum diberhentikan. Dia menjelaskan, di lapangan banyak PPK yang belum menerbitkan surat pemberhentian sebagai PNS. Dia menegaskan yang berwenang memberhentikan adalah PPK. Begitupula pejabat yang berhak mengangkat PNS juga PPK. Baik itu PPK di tingkat instansi pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota. ”Alasan mereka (PPK) belum mendapatkan salinan putusan inkrah,” tutur Bima. Sehingga banyak PPK dari berbagai instansi yang berkirim surat ke BKN. Intinya dalam surat tersebut mereka meminta penundaan penerapan surat keputusan bersama (SKB)  yang sudah ditandatangani sebelumnya. Data dari BKN hingga Desember 2018 menyebutkan ada 2.357 PNS yang belum tuntas pemberhentian status kepegawaiannya sebagai PNS. Padahal kasus hukum terkait korupsi mereka sudah berkekuatan hukum tetap. BKN akan mengawal untuk menyikapi kasus yang masih proses tersebut. Versi BKN hingga 14 Januari 2019 ada 891 PNS yang sudah ditetapkan surat keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (SK PTDH) sebagai PNS. Sementara itu, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto menyampaikan, pihaknya sejak awal sudah meminta daerah untuk memberhentikan PNS yang sudah terbukti bersalah. Hanya saja, hingga kini belum semua mematuhi dengan alasan yang beragam. ”Masalahnya dia itu nggak enak karena itu teman, saudara, atau sudah pindah ke OPD lain,” ujarnya saat dikonfirmasi kemarin. Padahal, lanjutnya, perintah tersebut bersifat wajib. Sebab sudah didasarkan pada keputusan hukum tetap. Sigit juga sudah memberikan garansi adanya bantuan dari pemerintah pusat jika pemerintah daerah digugat oleh PNS tersebut. Namun, apabila tetap tidak digubris, Sigit menyebut pihaknya akan memberikan sanksi. Sebab, secara kesepakatan, keterlambatan pemecatan sudah berlangsung hampir satu bulan. “Kalau nggak melaksanakan ya kita kasih sanksi,” imbuhnya. Lantas, apa sanksinya? Sigit menyebut akan disesuaikan dengan peraturan yang ada. Mulai dari sanksi terguran dan tertulis. Rencananya, lanjut dia, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga melakukan koordinasi terkait isu tersebut dengan Kementerian Dalam Negeri dan BKN di Jakarta siang kemarin. (jpg)

Sumber: