BJB OKTOBER 2025

Trans Banten Dinilai Masih Program Seremonial, Belum Jadi Solusi Transportasi Publik Massal

Trans Banten Dinilai Masih Program Seremonial, Belum Jadi Solusi Transportasi Publik Massal

BUS TRANS BANTEN: Bus Trans Banten yang diluncurkan oleh Pemprov Banten. (Aldi Alpian Indra/Tangerang Ekspres)--

SERANG — Program Trans Banten yang diluncurkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten baru-baru ini menuai kritik dari kalangan akademisi. Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Ahmad Sururi, menilai program tersebut masih sebatas seremoni tanpa arah kebijakan yang matang.

Menurut Sururi, peluncuran Trans Banten yang bertepatan dengan peringatan HUT ke-24 Provinsi Banten lebih menonjolkan aspek simbolis dan politis ketimbang menjadi langkah strategis dalam pembangunan sistem transportasi publik.

“Saya melihat peluncuran Trans Banten ini lebih sebagai bagian dari seremoni peringatan HUT Banten. Ada dimensi simbolis, politis, dan pencitraan di dalamnya. Program ini juga bisa disebut sebagai alat komunikasi politik dari gubernur,” katanya saat dihubungi oleh Tangerang Ekspres, Kamis (9/10).

Sururi menyebut, meskipun Pemprov mengklaim bahwa program ini lahir dari kebutuhan masyarakat terhadap transportasi publik, implementasinya masih sangat terbatas. Dengan hanya dua unit bus berkapasitas sekitar 37 penumpang dan rute Pakupatan–Sindangsari, Trans Banten belum dapat dikategorikan sebagai transportasi massal.

“Dengan hanya dua armada, itu belum menjawab kebutuhan masyarakat Banten secara menyeluruh. Jadi ini masih langkah kecil, belum bisa disebut kebijakan transportasi publik yang komprehensif,” katanya.

Menurutnya, klaim Pemprov bahwa Trans Banten merupakan solusi kebutuhan mobilitas warga masih terlalu dini. Sebuah kebijakan publik, kata dia, semestinya dilandasi hasil survei, kajian kebutuhan, dan rencana pengembangan yang terukur.

“Boleh saja Pemprov mengklaim begitu, tapi perlu diuji. Apakah klaim tersebut berbasis data? Apakah sudah dilakukan survei mengenai kebutuhan transportasi masyarakat? Kalau belum, berarti klaimnya belum berdasar,” tegas Sururi.

Ia menambahkan, untuk dapat dikatakan sebagai solusi transportasi, pemerintah harus menyiapkan peta jalan yang jelas, mulai dari penambahan armada, pembangunan halte, perluasan rute, hingga pembiayaan berkelanjutan.

“Kalau hanya dua bus yang beroperasi dari Pakupatan ke Sindangsari, sementara wilayah Banten luas, ada Cilegon, Tangerang, Pandeglang, itu belum bisa disebut solusi transportasi. Jadi klaimnya masih prematur,” ujarnya.

Dari sisi kebijakan publik, Sururi menilai program ini belum bisa disebut sebagai kebijakan substantif. Ia menyebut, hingga kini belum terlihat adanya rencana lanjutan maupun alokasi anggaran khusus yang menunjukkan keseriusan Pemprov dalam membangun sistem transportasi terpadu.

“Saat ini baru sebatas euforia peluncuran. Belum terlihat political will yang kuat untuk menyediakan anggaran cukup dan menyusun rencana pengembangan jangka panjang,” ucapnya.

Sururi juga mengingatkan agar Pemprov tidak hanya fokus pada peluncuran moda baru, tetapi juga menata ulang sistem transportasi yang sudah ada, seperti angkot dan trayek di Kota Serang yang dinilai masih semrawut.“Sebelum menambah moda baru, pemerintah perlu memastikan sistem yang lama tertata dulu. Kalau tidak, malah bisa menimbulkan masalah ekonomi baru bagi pengusaha dan sopir lokal,” katanya.

Sebagai langkah perbaikan, ia mendorong Pemprov Banten untuk menyusun perencanaan berbasis data dan kolaborasi lintas sektor, baik dengan pemerintah kabupaten/kota maupun pihak swasta. Selain itu, perlu dibentuk mekanisme monitoring dan evaluasi agar program transportasi seperti Trans Banten bisa berjalan efektif.

“Perlu ada survei kebutuhan, rencana pengembangan, alokasi anggaran, fasilitas pendukung, hingga sistem pengawasan yang jelas. Kalau ingin disebut transportasi massal, langkahnya harus komprehensif,” tutup Sururi. 

Sumber: