Sejumlah libur nasional dan akhir pekan pada dua bulan terakhir mampu mendongkrak tingkat hunian kamar hotel. Okupansi kamar pada kuartal kedua ini meningkat secara signifikan dibanding tiga bulan pertama 2017. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim M. Soleh menyatakan, rata-rata okupansi kamar hotel di Surabaya pada April–Mei mencapai 59 persen. Sedangkan rata-rata di Jatim 48 persen. Sementara itu, okupansi hotel pada Januari–Februari terbilang rendah. Rata-rata Jatim masih berada di bawah 40 persen, sedangkan rata-rata Surabaya 53 persen. ”Hotel di kawasan tujuan wisata mendapatkan porsi terbesar. Misalnya, Kota Batu,” terangnya.
Meski ada tren peningkatan pada April–Mei, rata-rata okupansi pada semester pertama tidak terlalu tinggi. Diproyeksikan, okupansi pada semester pertama mencapai 57 persen untuk Surabaya dan 45 persen untuk Jatim. ”Karena pengaruh akhir Mei dan Juni yang memasuki bulan puasa,” jelas Soleh.
Okupansi akan bergerak naik pada Lebaran. Kenaikan secara signifikan bakal terjadi, terutama di kota tujuan wisata. Bukan hanya kamar, ketika Lebaran, akan ada peningkatan kontribusi dari food and beverage (F&B). ”Kegiatan perjalanan, baik wisata maupun silaturahmi, memicu permintaan F&B,” lanjutnya.
Saat ini perbandingan pendapatan kamar dengan F&B mencapai 50:50 untuk hotel bintang tiga hingga lima. Selanjutnya, perbandingan bintang dua ke bawah mencapai 60:40.
Okupansi di hotel berbintang lima tercatat paling tinggi pada kuartal kedua karena persaingannya tidak terlalu ketat. Berikutnya adalah bintang empat, bintang dua, bintang tiga, dan bintang satu.
Sektor yang menyumbang okupansi adalah pemerintahan dengan kontribusi 35–40 persen. Meski kegiatan pemerintahan mulai terlaksana, efek pemangkasan anggaran juga terasa.
Adapun market MICE, pada semester pertama, dikerek berbagai event. Misalnya, di Surabaya, ada kegiatan ulang tahun Kota Surabaya dan kegiatan Majapahit Travel Fair. (res/c24/noe)