JAKARTA - Bawaslu tidak akan melakukan gugatan atau judicial riview (JR) ke Mahkamah Agung soal peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Pasalnya, salah satu lembaga penyelenggara pemilu itu merasa takut divonis masyarakat pro terhadap koruptor. Menurut komisioner Bawaslu Rahmat Bagja, tekanan politik terhadap lembaganya memasuki agenda pemilu 2019 sangat kencang. Termasuk soal mantan narapidana koruptor yang maju sebagai anggota legislatif. “Sangat kencang sekali tekannannya. Terlebih soal eks napi koruptor,” ungkapnya dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk 'Polemik PKPU (Caleg Koruptor dan Calon DPD)' di Media Center, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan. Kendati demikian, sambung Bagja, pihaknya tidak akan melakukan JR ke Mahkamah Agung soal polemik PKPU khususnya mantan napi koruptor. Karena, dengan keputusan Bawaslu melakukan sidang judikasi meloloskan beberpa napi koruptor ikut kembali dalam pencalegan sudah banyak ungkapan miring dari masyarakat. “Kita (Bawaslu, red) tidak mau dituding masyarakat sebagai lembaga yang pro koruptor, makanya kita tidak melayangkan gugatan. Terlebih sudah ada pihak yang melayangkan hal tersebut ke MA,” tutur Bagja. Dia menegaskan, keputusan Bawaslu harus ditindaklanjuti dan dijalankan KPU. Putusan Bawaslu yang meloloskan eks koruptor maju sebagai bakal caleg karena sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. “Putusan Bawaslu wajib dilaksanakan sesegera mungkin,” tandasnya. Meski demikian, Bagja mengatakan Bawaslu masih menunggu hasil daripada pertemuan antara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), KPU dan Bawaslu. Pertemuan tripartit tersebut akan membahas terkait polemik KPU dan Bawaslu yang meloloskan mantan narapidana korupsi sebagai bacaleg. Dari pertemuan tersebut, Bagja berharap, KPU bisa menjalankan putusan Bawaslu. “Akan membicarakan minggu ini. Berharap putusan Bawaslu dijalankan,” tuturnya. Dalam kesempatan itu, Bagja memprediksi, eks koruptor yang menjadi caleg dalam pileg 2019 mencapai 50 orang. Menurutnya, jumlah tersebut karena eks koruptor di sejumlah daerah melakukan ajudikasi atas PKPU yang melarang eks koruptor menjadi bakal caleg. “Sekarang masih 18. Ini prediksi paling besar itu, karena masih empat atau lima (yang masih berproses di Bawaslu, red), mungkin 20 atau 30. Rasionalnya segitu paling besar 50,” tuturnya. Lebih lanjut, Rahmat menilai, jumlah eks koruptor yang menjadi caleg terbilang kecil jika dibandingkan dengan jumlah caleg secara nasional dalam pileg tahun 2019. “Kami apresiasi partai yang juga menurunkan calon anggota yang terlibat dalam tiga masalah tersebut,” ujarnya. Anggota Komisi II DPR RI, Henry Yosodiningrat menuturkan, memang saat ini pemerintah, DPR, partai politik dan pengawas pemilu masih berbeda pendapat dengan KPU terkait PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang melarang mantan napi koruptor ikut pemilihan legislatif pada pemilu 2019 mendatang. Hal tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 240 ayat 1 huruf (g) UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik. “Yang tidak diperkenankan adalah bandar narkoba dan kejahatan seksual anak,” ujarnya di lokasi yang sama. Selain undang-undang, menurut politikus PDIP itu, penolakan PKPU mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, yang memperbolehkan mantan napi koruptor boleh maju sebagai caleg pada Pemilu 2019 mendatang. “Kalau sudah jadi keputusan MK itu bagi kami ya kami ikuti apa yang menjadi keputusan MK. Jadi sudah selesai DPR dan pemerintah,” katanya. (jpg/bha)
Bawaslu Batal Gugat PKPU
Kamis 06-09-2018,03:25 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :