Upaya pemerintah menjembatani masyarakat miskin agar memperoleh rumah mendapat respons positif dari pengusaha properti. Pembangunan rumah bersubsidi semakin gencar. Diperkirakan, 950 unit rumah terbangun pada 2018 dan siap ditempati.
Rumah tersebut berada di lahan seluas 7,5 hektare. Izin pembangunan rumah sudah keluar. Pengembang sedang membangun satu per satu rumah hingga tercapai target yang ditetapkan, yakni 950 unit.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Gresik Tri Andhi Suprihartono mengatakan, rumah itu diperuntukkan masyarakat Gresik yang tidak mampu. Mereka bisa menikmati program tersebut. Namun, dia belum menyebutkan harga per unit di pasaran. ’’Yang jelas, kami lepas di bawah harga pasar,’’ ungkapnya.
Namun, berdasar informasi di lapangan, rumah tersebut akan dijual Rp 130 juta. Angka itu dianggap paling rendah dan mampu dijangkau masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap.
Sebenarnya bukan hanya rumah bersubsidi yang diterapkan pemerintah. Masih ada program lain dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), yakni rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rumah tersebut dibangun pengembang yang ditunjuk pemerintah. Mereka mendapat subsidi dari pemerintah untuk pembangunan setiap unit. Kompensasinya, pengembang tidak boleh mengambil untung besar di setiap pembangunan rumah tersebut.
Program itu belum terealisasi di Gresik. Hingga kini, belum ada perusahaan yang ditunjuk khusus untuk menangani program tersebut. Perizinan yang masuk di dinas penanaman modal pelayanan terpadu satu pintu (DPM PTSP) hanya mencatat 11 pengembang. Namun, 11 pengembang itu bukan bagian dari program rumah untuk MBR. Tetapi, murni untuk urusan bisnis. Artinya, pengembang berhak mengambil untung besar di setiap unitnya. Izin yang diajukan pengembang, rata-rata rumah memiliki luas 10 hingga 15 hektare. Lokasinya berada di Gresik kawasan selatan.
Di sisi lain, pengurus harian Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Koko Wijayanto pesimistis dengan program rumah bersubsidi. Sebab, angka Rp 130 juta dianggap sangat memberatkan. Bantuan yang disiapkan pemerintah berupa kredit Rp 75 juta belum cukup. Masyarakat harus menambah Rp 55 juta. Mendapatkan uang sebesar itu cukup sulit. Masyarakat menjadi terbebani dua hal. Pengembalian kredit Rp 75 juta dan mencari uang tambahan Rp 55 juta. ‘’Meski begitu, kami tetap menyambut baik apa yang menjadi kebijakan pemerintah,’’ ungkap dia. (riq/c7/ai/sep/JPG)