Penghambat Profesor tak Publikasi Internasional

Sabtu 24-02-2018,05:25 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

Kemenristekdikti tidak langsung menghentikan sementara tunjangan kehormatan 3.800 profesor yang belum memenuhi kewajiban publikasi internasional. Batas waktu diperpanjang hingga November 2019. Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Asep Saepuloh mengatakan profesor yang belum memenuhi kewajiban publikasi internasioanl itu bukan berarti useless. Dia mengatakan banyak profesor yang aktif mengajar. ’’(mengajar, red) Itu juga harus dihargai,’’ katanya. Guru besar IPB itu mengatakan pemerintah perlu melihat fenomena masih banyak guru besar belum menulis publikasi ini secara luas dan mendalam. Melihat apa penyebabnya kemudian mencari solusinya. Asep mengatakan penyebab guru besar tidak produktif karya tulisnya bisa jadi karena mereka berada di kampus yang tidak memiliki program S2 maupun S3. Sehingga dia lebih disibukkan dengan kegiatan pengajaran saja. Menurut Asep membimbing mahasiswa S3 memang benar menjadi salah satu jalan untuk bisa bergabung dalam tim publikasi internasional. Penghambat berikutnya adalah kemampuan bahasa Inggris. Dia mengatakan hampir seluruh jurnal internasional bereputasi menggunakan bahasa Inggris. Karya yang dibuat profesor harus ditulis dalam bahasa Inggris. “Sementara banyak guru besar yang belum terbiasa,’’ tuturnya. Dia mengusulkan jika pemerintah atau kampus membuat layanan khusus yang bertugas menerjemahkan karya tulis guru besar ke bahasa Inggris. Dia mencontohkan di Jepang sudah ada unit khusus yang membantu menerjemahkan karya ilmiah para guru besar. ’’Kemampuan bahasa Inggris orang Jepang tidak sebaik Indonesia,’’ katanya. Asep mengingatkan bahwa kemampuan menulis karya ilmiah berbasis hasil riset itu perlu perawatan. Memang benar ketika mengusulkan gelar profesor, kandidat guru besar cukup aktif membuat publikasi. Tetapi setelah itu tidak dirawat sehingga dia menyebut seperti mesin yang karatan. “Kalau sudah karatan seret,’’ jelasnya. Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti memiliki dugaan lain terkait sedikitnya guru besar yang membuat publikasi internasional. Diantaranya adalah dari sisi waktu, profesor banyak yang tersita untuk mengajar dan kegiatan konsultasi mahasiswa bimbingannya. Kemudian kultur menulis juga belum kuat. “Budaya oralnya lebih dominan ketimbang kultur menulis,’’ ungkapnya. Lalu dipicu aspek keilmuan. Menurut Ghufron tidak semua guru besar memiliki kemampuan untuk kembangkan ide baru. Sehingga mereka kesulitan mendapatkan dana riset. Faktor penghambat berikutnya adalah selama ini tidak ada sanksi apapun bagi para profesor yang tidak membuat publikasi. “Umumnya sudah jadi profesor undangan banyak. Jadi konsentrasinya kurang,’’ tuturnya. Selain itu ada profesor yang merasa upaya untuk jadi profesor cukup berat. Sehingga setelah mendapatkan gelar profesor, dia ingin ’’istirahat’’ sejenak. (jpnn/mas)

Tags :
Kategori :

Terkait