JAKARTA-Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqqodas menilai ada gejala demoralisasi yang terjadi di Mahkamah Konsititusi (MK). Bahkan berlangsung sejak lama. Itu dimulai dari reaksi pemimpim MK periode pertama terhadap judicial review (JR) UU Komisi Yudisial. Hingga menghasilkan putusan ultra petita yang menyatakan KY tidak memiliki wewenang melakukan pengawasan terhadap MK. Hingga timbulah masalah pertama dengan ditangkapnya ketua MK terdahulu, Akil Mochtar. "Kasus tersebut mencerminkan bahwa di MK terjadi pergeseran moral yang luar biasa," katanya, saat menggelar konferensi pers di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Selasa (30/1). Tak berhenti di situ, muncul lagi kasus suap penanganan perkara judicial review (JR) UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK yang menyeret hakim konstitusi Patrialis Akbar. "Terjadi pembuktian korupsi demokrasi," tambahnya. Dan kini, lanjut dia, Ketua MK Arief Hidayat terbukti dua kali melanggar etik namun tidak mau mundur dari jabatannya. Diketahui pelanggaran etik pertama lantaran Arief membuat surat titipan atau katebelece. Kedua, dia terbukti menemui anggota DPR di salah satu hotel di Jakarta. Sikap menolak untuk mundur dari Ketua MK sekarang katanya sama saja menolak untuk diawasi. "Ini menggambarkan Arief Hidayat itu memiliki sikap yang memang merendahkan hak kontrol, komitmen kontrol masyarakat sipil," tegasnya. Jika sikap itu dibiarkan, Busyro khawatir akan menimbulkan dampak buruk ke depannya. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun politik dimana potensi sengketa di MK diprediksi besar. "Kalau tidak ada penyelesaian dari internal MK sendiri terlebih dari Arief yang tidak mau mundur, kami khawatir potensi terjadinya transaksi sengketa pilkada besar banget," katanya. Karena itu, dibutuhkan sikap kenegarawanan Arief menyikapi hal ini. "Kalau kita tidak melihat posisi ketua MK sebagai negarawan, maka predikat negarawan itu menjadi formalitas, bahkan topeng saja," pungkas Busyro. Pada bagian lain, akademisi Hukum STHI Jentera Bivitri Susanti mengatakan, harusnya Arief malu dengan sikapnya yang ogah mundur dari jabatannya. Padahal katanya, sudah ada contoh hakim konstitusi yang mengundurkan diri, yakni Arsyad Sanusi karena terbukti melanggar kode etik. Arsyad katanya, mundur demi menjaga nama baik dan integritas delapan hakim konstitusi lain, serta menjaga wibawa Mahkamah Konstitusi. Harusnya kata Bivitri, hal yang sama juga dilakukan oleh Arief. "Pak Arief, perhitungkanlah betul. Mundur bukan berarti kalah. Tapi jusru menjaga supaya MK marwahnya tetap baik," imbau Bivitri saat menggelar konferensi pers di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Selasa (30/1). Dia membantah bahwa dorongan Arief untuk mundur dilatarbelakangi keinginan posisinya diganti dengan hakim tertentu. "Ini bukan soal Pak Arief, ini soal etik," tegasnya. Bivitri mengulas, sudah dua kali MK tercoreng marwahnya karena kasus suap sengketa pilkada yang menyeret Ketua MK terdahulu, yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar dalam suap penanganan perkara judicial review (JR) UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK. Masyarakat sipil katanya tidak ingin marwah MK terus tercoreng dengan ditambahnya kasus Arief ini. "Kalau tercoreng, karena ini yang dipertaruhkan bukan MK, negara hukum Indonesia tapi juga demokrasi secara luas," tambahnya. Apalagi belakangan, MK akan menghadapi situasi penting. Selain revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang terbesar adalah sengketa Pilkada 2018, serta Pileg dan Pilpres 2019 nanti. Tentu, legitimasi masyarakat kepada hakim MK akan turun jika Arief tetap bertahan. "Kalau sebuah MK yang legitimasi turun dengan dua pelanggaran etik dengan sanksi tidak memuaskan, mau memutuskan sengketa penting, apakah kita tidak mempunyai kekhawatiran besar?," tutur Bivitri. (jpc/esa)
Arief Menolak Mundur
Rabu 31-01-2018,08:02 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :