TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Dua fraksi di DPRD Kota Serang, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) secara tegas menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyelenggaraan Usaha Kepariwisataan (PUK). Penolakan tersebut disampaikan dalam rapat paripurna penetapan propemperda 2026 serta persetujuan bersama Raperda APBD 2026, Jumat (28/11) lalu.
Perwakilan Fraksi PKS, Erna Yuliawati, mengkritik proses penyusunan Raperda yang dinilai kurang membuka ruang partisipasi publik. Ia menilai Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) belum maksimal menjaring aspirasi masyarakat, sehingga dikhawatirkan dapat menggeser nilai religius dan budaya yang menjadi karakter Kota Serang.
Erna juga menyoroti adanya pasal yang dianggap memberi peluang legalisasi klub malam dan diskotik melalui mekanisme pembatasan tertentu. Menurutnya, ketentuan tersebut justru dapat memperluas ruang operasional hiburan malam di hotel maupun tempat-tempat lain.
“Penegakan saja masih lemah sekarang. Kalau pasal dibuka seperti ini, sama saja memberi legitimasi,” ujarnya.
PKS berpendapat bahwa Perda Nomor 11 Tahun 2019 masih relevan, terutama pada Pasal 57–60 yang mengatur sanksi hingga pencabutan izin usaha. Karena itu, fraksi tersebut menolak raperda masuk dalam Propemperda 2026.
Sikap serupa disampaikan Fraksi PPP melalui anggotanya, Wisol. Ia menegaskan, PPP tidak dapat menerima adanya penyebutan diskotik dan klub malam dalam draft raperda.
“PPP sebagai partai yang berplatformkan Islam, tentu menolak apa pun yang membuka peluang bagi keberadaan diskotik dan klub malam,” tegasnya.
Wisol menilai jenis usaha tersebut identik dengan hiburan malam yang kerap disertai konsumsi minuman beralkohol, sehingga tidak sejalan dengan nilai keislaman maupun moralitas publik.
“Semua tahu, yang namanya klub atau diskotik menawarkan hiburan tertentu, termasuk minuman beralkohol,” ujarnya.
Wisol memastikan penolakan tersebut merupakan sikap resmi fraksi. “Jadi sekali lagi, PPP menjadi salah satu dari dua fraksi yang menolak. Ini menyangkut syiar Islam dan keberadaan hiburan malam,” tegasnya.
Sementara itu, Wali Kota Serang Budi Rustandi menilai perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif merupakan hal wajar dalam proses demokrasi. Ia menegaskan bahwa DPRD adalah lembaga kolektif kolegial yang bekerja berdasarkan pembahasan bersama.
“Kalau perbedaan pendapat itu biasa, itu demokrasi. Tapi dewan ini adalah kolektif kolegial. Cuma saya ingin menjelaskan bahwa kata ‘membatasi’ itu dari Kemenkumham, karena peraturan pusat ada di atasnya dan harus bersesuaian dengan Perda kita,” ujarnya.
Budi menegaskan bahwa pembahasan raperda dilakukan secara terbuka dan tidak ada hal yang ditutupi. “Silakan kalau memang yang bagus ambil, yang tidak bagus tinggal dibuang. Namanya juga membahas, barang yang kita suguhkan untuk sama-sama dibahas secara transparan, tidak ada yang ditutupi,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa salah satu tujuannya mengusulkan raperda adalah untuk menertibkan usaha hiburan malam agar tidak berdampak buruk pada generasi muda.
“Saya ingin menertibkan dan membenahi agar jangan sampai ada anak-anak muda kita yang gampang minum-minuman keras. Saya ingin menutupnya, tapi susah karena ada aturan yang lebih tinggi yang tidak bersesuaian dengan Perda kita,” ujarnya.