Darurat Kekerasan dan Pelecehan di Sekolah

Selasa 18-11-2025,22:28 WIB
Reporter : Syirojul Umam & Abdul Aziz Mus
Editor : Andi Suhandi

Dikatakan Hendri, meskipun anak berhadapan hukum (ABH) atau pelaku masih di bawah umur, hukum tetap berlaku. Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur, ABH dapat menjalani proses diversi (penyelesaian di luar pengadilan) dengan pendekatan keadilan restoratif. "Namun jika diversi gagal atau kasusnya berat seperti mengakibatkan kematian, ABH dapat dibawa ke pengadilan dan dikenai sanksi, seperti pembinaan di lembaga khusus anak," paparnya.

Meski begitu, orang tua memiliki peran sentral dalam pencegahan perundungan dengan secara aktif mengawasi perilaku anak dan membangun komunikasi terbuka serta intensif. Penting bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai penghargaan terhadap perbedaan dan mengajarkan anak untuk tidak menjadi pelaku, tidak menjadi korban yang pasif, serta tidak menjadi pembisu yang diam ketika menyaksikan aksi perundungan.

Sementara sekolah wajib mengaktifkan TPPK berdasarkan amanat Permendikbud 46 tahun 2023 dan penting untuk membuat dan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) anti-perundungan yang jelas, komprehensif, serta disosialisasikan secara menyeluruh kepada seluruh warga sekolah. Selain memberikan sanksi tegas dan edukatif bagi pelaku."Sekolah juga harus memberikan pendampingan psikologis yang memadai bagi korban untuk memulihkan kondisi fisik dan mentalnya," tuturnya.

Di samping itu, sasyarakat secara luas harus berperan aktif dengan melaporkan setiap tindakan perundungan yang disaksikan kepada pihak berwenang. Masyarakat juga harus menghilangkan pandangan yang meremehkan perundungan, karena bagaimanapun kecilnya bentuk perundungan tersebut, dapat berkembang menjadi kekerasan yang lebih serius dan berbahaya."Mari bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak kita. Masa depan anak adalah tanggung jawab kita semua," paparnya. 

Terpisah, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Tangerang mencatat sebanyak 306 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga November 2025. Jumlah tersebut berdasarkan laporan yang diterima Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Tangerang."Sampai saat ini UPTD PPA menerima pengaduan sebanyak 306 kasus kekerasan," ungkap Kepala Dinas DP3AP2KB Kota Tangerang, Tihar Sopian, saat dihubungi, Selasa, (18/11).

Tihar menyampaikan,  Pemkot Tangerang memiliki aplikasi Silacak Perak yaitu Sistem Layanan Cepat Pengaduan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Aplikasi tersebut sebagai fasilitas pengaduan masyarakat apabila adanya kejadian KDRT, kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan sekitarnya. 

Sejak 2024 diluncurkannya aplikasi tersebut, kata Tihar, kepedulian masyarakat semakin tinggi untuk melaporkan adanya kejadian kekerasan baik oleh korban maupun warga yang mengetahui kejadian tersebut.

Dia menuturkan, hingga saat ini sosialisasi Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di 104 kelurahan terus dimasifkan. Hal itu guna mencegah dan mengurangi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Tangerang. 

Dia menambahkan, DP3AP2KB secara rutin melakukan pembinaan forum anak, pembinaan sekolah ramah anak yang terus mensosialisasikan ke sekolah-sekolah mulai dari tingkat PAUD hingga SMP. serta pembinaan kampung ramah anak.

"Kami juga mengimbau untuk seluruh masyarakat agar tidak perlu ragu untuk melakukan pelaporan lewat layanan yang telah disediakan. Kami juga menyediakan tim atau petugas profesional di bidangnya untuk melakukan pendampingan secara penuh,” pungkasnya. (mam-zis/and)

 

 

 

Tags :
Kategori :

Terkait