Penulis buku ini, Wahyuni Refi, ketika ditanya soal motivasinya menulis buku ini, menyampaikan, motivasi terbesarnya adalah ingin berbicara dan memberikan sumbangsih tentang sebuah sejarah yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste, yang ia lihat dan rasakan masih sangat kurang berimbang tentang Indonesia dan Timor Leste.
”Bukan bicara persoalan luka atau apa yang sudah terjadi, tapi apa yang akan kita hadapi bersama kedepan seperti apa? Bukan dalam artian menghapus luka, tapi ada proses healing, ada proses kesadaran bersama antara Indonesia dan Timor Leste bahwa dari luka itu kita sama-sana belajar, sama-sama mencari tentang jatidiri dari kedua bangsa,” kata Refi di Gerak Gerik Cafe & Bookstore, Ciputat, Tangerang Selatan.
”Karena saya merasa risau sebenarnya dengan generasi Z (Gen Z) di kedua negara yang buta sejarah atau abai terhadap sejarahnya karena bagi saya sejarah itu adalah pondasi dari sebuah bangsa dan peradaban. Betapaun buruknya, betapapun kelamnya tetap kita harus melihat itu sebagai sebuah pembelajaran,” tuturnya.
Ia mengatakan, pesan utama dalam buku ini adalah tentang kemanusiaan san sebuah cinta. Sebuah perang, sambung Refi, bagaimanapun itu bukanlah sesuatu hal yang baik dan perang menghancurkan peradaban dan selalu menyisakan luka dan yang menjadi korban utama adalah perempuan, anak anak dan juga masyarakat lainnya.
Ia menjelaskan, buku ini ia tulis selama 1,7 bulan (satu tahun tujuh bulan) karena awalnya ini adalah riset untuk film tentang Timor Leste yang berbicara tentang proses rekonsiliasi, kemanusiaan dan hal lain.
”Proses riset film sangat sayang kalau tidak dituangkan dalam narasi atau buku yang melihat pijakan hubungan Indonesia - Timor Leste,” ucap Refi.
Kedepan, pihaknya akan membuat film tentang Indonsia dan Timor Leste dengan pesan tentang kemanusiaan, perdamaian dan bagaimana proses healing akibat perang kedua negara.
Shooting film akan dimulai Oktober 2025 ini di Timor Leste, Atambua dan Kupang. Proses Shooting diperkirakan memakan waktu 3-4 bulan yang lama itu justru risetnya, karena ini bukan sekedar cerita tapi memang ada base on historicalnya.
Rencananya film ini akan disutradarai Dedi Mizwar dan seorang Sinematografer Yudi Datau yang kebetulan memiliki visi yang sama dengan didukung beberapa artis ternama.
Tantangan dalam membuat buku ini, lanjut Refi, adalah menerapkan karya sastra, mengingat generasi kita kebanyakan gaya narasinya bertutur dan tugas saya adalah menjaring generasi sekarang untuk peduli terhadap ssjarah, termasuk film. (esa)