Masa anak-anak merupakan masa bermain dengan teman-teman sebayanya. Semestinya, pola bercanda dan bermain penuh keceriaan alias jauh dari kekerasan verbal maupun fisik. Sayangnya, di sejumlah kasus, keceriaan mereka diwarnai dengan tragedi kekerasan yang menyebabkan korban jiwa.
Catatan JawaPos.com, terdapat beberapa kasus siswa SD yang meninggal di tangan temannya. Semula hanya bercanda, lalu menjadi berkelahi, dan saling pukul. Barangkali pelakunya yang juga masih anak-anak tak sengaja, akan tetapi korban justru jatuh akibat tangan mereka sendiri.
Kemarin (8/8), siswa kelas II di salah satu SDN di Longkewang, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal setelah berkelahi dengan teman sekelasnya. SR, inisial korban, kemudian meninggal dunia.
SR bukan korban pertama. Pada tahun 2015, seorang siswa SD kelas 2 berinisial A meninggal dunia setelah berkelahi dengan teman sekolahnya di Kebayoran Lama. Ketika itu, RA menderita luka di dada dan punggung. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto prihatin kasus anak tewas di tangan temannya sendiri masih berulang. Apalagi tak hanya kekerasan fisik, kekerasan verbal serta bullying juga menjadi ancamann.
"Pada level regulasi Raperpres pencegahan kekerasan di satuan pendididikan kami dorong agar sesegera mungkin JawaPos.com, Rabu (9/8). Susanto mendorong advokasi perwujudan sekolah ramah anak dimaksimalkan. Sampai tahun ini, lanjut dia, ada sekitar 3400-an rintisan sekolah ramah anak.
Dia berharap tahun ini setidaknya bisa bertambah 1000 rintisan sekolah. "Sehingga integrasi perlindungan anak dalam pembelajaran terus diadvokasikan kepada pimpinan satuan pendidikan agar kasus-kasus bullying bisa ditekan," pungkasnya. (ika/JPC)