Gairah kredit properti yang disalurkan perbankan selama dua tahun terakhir cenderung melambat. Hal itu dipengaruhi oleh situasi perekonomian global dan regional yang masih dalam tahap pemulihan secara makro. Kredit untuk sektor properti dapat berupa kredit korporasi yang diperuntukkan bagi perusahaan pengembang (developer) maupun perusahaan kontraktor bangunan. Selain itu, perbankan juga dapat menyalurkan kredit kepada para konsumen properti dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen. Saat ini Kredit untuk konsumen (KPR dan KPA) mendominasi porsi kredit perbankan ke sektor properti.
Menurut Direktur Graha Mandiri Manajemen Terpadu Properti, Sunardjaja Tjitjih, ketatnya peraturan pemberian kredit properti dan penurunan daya beli masyarakat membuat permintaan terhadap kredit properti mengalami pelambatan. Bisnis properti yang sedang kurang bergairah tersebut menjadi perhatian banyak pihak, termasuk kalangan perbankan dan lembaga keuangan lainnya. “Pasalnya, properti merupakan salah satu sektor yang memiliki kemampuan untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Di dalam sektor properti setidaknya ada 135 sektor turunan yang memengaruhi ekonomi masyarakat,” katanya dalam keterangan tertulis kepada JawaPos.com, Sabtu (22/7). Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat khususnya para pelaku bisnis, kadang timbul persoalan saat debitur yang memiliki kemampuan bayar yang rendah dan tidak berpengalaman dalam mengelola plafon fasilitas kredit. Selain itu kesulitan melakukan pembayaran cicilan dan bunga yang terus bertambah, akibat perubahan kondisi ekonomi global dan nasional yang tidak menentu. Di pihak lain, para pengembang juga mengalami kondisi yang sama untuk melakukan pembayaran kredit dan bunga kepada pihak pemberi yaitu bank maupun lembaga keuangan lainnya. Di lain pihak tidak dipungkiri bahwa sumber pembiayaan properti pelaku usaha merupakan pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya. Pembiayaan itu memiliki jangka waktu tertentu untuk dilunasi. Kuartal I 2017, pertumbuhan kredit di sektor properti mengalami kenaikan 15,2 persen. Hal ini sejalan dengan data Bank Indonesia (BI) yang menyebutkan kredit perbankan yang juga mengalami pertumbuhan 9,1 persen. Berdasarkan data uang beredar BI, penyaluran kredit properti per Maret 2017 tercatat Rp 719 triliun atau tumbuh 15,2 persen lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya yang tumbuh 15 persen. Peningkatan ini bersumber dari penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) yang menjadi 8,4 persen dibandingkan Februari 7,4 persen. Guna menggenjot industri properti, selama tahun 2016 dan 2017, sebenarnya pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat mendorong bangkitnya industri properti. Contohnya, pada bulan September tahun 2016, Suku Bunga Acuan Bank Indonesia turun menjadi lima persen (7), diharapkan dengan penurunan ini akan mendorong permintaan akan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Tidak hanya itu, Bank Indonesia, pada Agustus 2016 juga melakukan pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yang tadinya 20 persen menjadi 15 persen untuk rumah pertama. Bank Indonesia juga telah menurunkan LTV untuk rumah kedua dan rumah ketiga dengan rasio DP masing-masing 20 dan 25 persen. Sebelumnya rasio DP untuk KPR rumah kedua dan ketiga sebesar 30 dan 40 persen. Pada tahun 2016, pemerintah juga meluncurkan program tax amnesty, program ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap sektor properti. Melalui dana repatriasi dari program tax amnesty, diharapkan aliran dana tersebut bisa diinvestasikan ke sektor properti, sesuai dengan Peraturan Menteri Keungan (PMK) Nomor 122/PMK.08/2016) (8). Diperkirakan dana reptriasi yang akan masuk ke sektor properti akan mencapai Rp 70 triliun. (ika/JPC)