Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, akan melakukan evaluasi terhadap aturan-aturan yang mengganggu bisnis perdagangan, termasuk dalam hal bisnis ritel modern. Hal tersebut menyusul penutupan seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia. Enggartiasto mengatakan, Kementerian Perdagangan akan bertemu dengan manajemen 7-Eleven untuk mendengarkan secara langsung permasalahan yang dihadapi oleh convenience store tersebut. Nantinya, hasil pertemuan tersebut akan dijadikan bahan untuk evaluasi. "Nanti kita lihat. Jangankan yang itu, peraturan-peraturan lain yang mengganggu dunia usaha yang perlu kita revisi, kita revisi. Hari ini keluar, besok kita revisi tidak apa-apa, asal untuk kebaikan," ujar dia di Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta, Selasa (4/7). Enggartiasto mengatakan, pihaknya belum bisa banyak berkomentar terkait tutupnya bisnis 7-Eleven di Indonesia sebelum mendengar langsung dari pihak 7-Eleven. Selain itu, dirinya juga akan melakukan pertemuan dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh ritel modern selama ini. "Kami akan lihat, kita dengar dulu dari 7-Eleven. Sesudah dari 7-Eleven, kita dengar dulu dari Aprindo baru kita bahas. Saya belum berani untuk memberikan penilaian apa pun sebelum saya ketemu dan saya ngobrol," kata dia. Sementara, terkait anggapan yang menyebut jika bangkrutnya 7-Eleven di Indonesia karena salah menerapkan model bisnis, Enggartiasto menyatakan setiap manajemen perusahaan memiliki langkah bisnis masing-masing. "Setiap manajemen, setiap usaha berbeda. Ada yang cukup dengan investasi sekian, maka dia bisa mengembangkan usaha. Kategorinya berbeda lah. Setiap usaha berbeda retun on investment, masing-masing punya judgement yang berbeda," tandas dia. Sebelumnya, Fitch Ratings mengeluarkan riset bahwa penutupan gerai 7-Eleven lantaran risiko peraturan yang berkembang dan profil risiko dari model bisnis yang diterapkan. Fitch melihat, bisnis model yang diterapkan oleh 7-Eleven di Indonesia diganggu oleh perkembangan peraturan yang kurang kondusif. Perusahaan menutup sekitar 25 gerai pada 2016 dibandingkan 2015 sekitar 20 gerai. Total gerai 7-Eleven sekitar 161 gerai pada 2016. Penutupan gerai 7-Eleven menurut Fitch Ratings lantaran ada peraturan yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian pada April 2015, yang melarang penjualan minuman beralkohol di ritel modern dan kecil. Padahal, kontribusi minuman beralkohol itu diperkirakan sekitar 15 persen untuk penjualan induk usaha 7-Eleven, yaitu PT Modern Internasional Tbk. Penutupan toko pun akhirnya menghasilkan penurunan penjualan dan earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi sekitar 28 persen pada 2016. Selain itu, Fitch menilai, masalah diperburuk dengan tidak ada perbedaan jelas antara toko ritel dan restoran cepat saji yang dilakukan 7-Eleven di Indonesia. Model bisnis dan risiko gerai 7-Eleven serupa dengan restoran lantaran makanan dan minuman siap saji yang difasilitasi dengan tempat duduk dan wi-fi gratis. Akibatnya, rantai itu menghadapi persaingan ketat dari restoran cepat saji dan penjual makanan tradisional yang masih sangat populer di kalangan konsumen Indonesia. (lip)
Mendag Evaluasi Aturan Ritel
Rabu 05-07-2017,07:12 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :