Budaya ngopi melekat di setiap aktivitas warga Kota Pudak. Ngobrol di warung kopi (warkop) merupakan kebiasaan yang tak tergantikan. Tak heran, prospek jual-beli secangkir kopi amat menjanjikan. Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskoperindag) Gresik mencatat, ada 4.700 warkop yang beroperasi. Lokasinya tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Omzet yang dikantongi bisa mencapai Rp 9–250 juta per bulan.
”Memang ada pergeseran model warkop di Gresik,” tutur Choiri yang menjual kopi sejak 1989. Saat ditemui di rumahnya, Cak Ri –sapaan akrabnya– berbicara soal kecenderungan warkop di Gresik. Kini tempat menongkrong semikafe menjamur. Kondisi tersebut berbeda dibanding tiga tahun lalu. Dulu masyarakat lebih sreg pergi ke warkop tradisional. Bangunannya terbuat dari kayu dengan sistem pelayanan yang sederhana. Jauh dari kesan modern.
Kini warkop semikafe paling digandrungi. Bangunannya lebih dikonsep secara modern. Temanya lebih kuat. Sistem pelayanan dimodel kafe. Praktis serta manajemen lebih teratur. ”Meski, secara harga, makanan juga masih sama dengan warkop biasa,” tutur Cak Ri berkelakar.
Menurut dia, warkop semikafe tak hanya merangkul anak muda. Pengunjung berusia tua juga tak kalah banyak. Tempat menongkrong model semikafe bisa dijumpai di kawasan Jalan Fatimah Binti Maimun, Perumahan GKB. Ada puluhan warkop tematik. Kreasinya bermacam-macam. Mulai konsep dengan payung, taman, hingga kerajinan kayu klasik.
Menurut Cak Ri, konsep memang menentukan pendapatan pengusaha. Salah satu strategi untuk menaikkan harga makanan dan minuman. Meski, aksi itu masih terukur. ”Kalau terlalu mahal, ini sudah mengarah ke kafe. Malah nggak laris,” ujar Cak Ri yang memiliki dua warkop di Kebomas.
Ketua Kerukunan Usahawan Kecil Menengah Indonesia (KUKMI) Gresik Achmad Nurhamim menambahkan, pertumbuhan warkop memang cukup pesat. Tenaga kerja yang terserap juga tinggi. ”Kami menyoroti penataannya. Pemkab perlu membuat ruang-ruang khusus yang lebih banyak untuk sektor informal,” terangnya. (hen/c24/dio)