Kegagalan Indonesia dalam ajang Piala Sudirman di Gold Coast, Australia, memang menjadi catatan terburuk sepanjang sejarah partisipasinya dalam kejuaran beregu campuran tersebut. Indonesia tersingkir di babak penyisihan grup setelah kalah 1-4 dari India dan menang 3-2 dari Denmark. Ini tentu sangat menyedihkan karena Indonesia lah 'Ibu Kandung' yang melahirkan kejuaraan tersebut pada 1989. Salah satu sebab kegagalan yang paling terlihat adalah pincangnya kekuatan Indonesia di antara kelima partai yang dimainkan. Sejurus dengan kelemahan itu, kekalahan harus ditelan ketika menghadapi India yang memiliki kekuatan lebih merata meski beberapa pemainnya terpaksa harus bermain rangkap. Disamping kekuatan yang tidak merata, sikap terlalu yakin menang saat bertemu India, sulit untuk disangkal. Itu terlihat dari penurunan pasangan baru Tantowi Achmad/Gloria Emanuelle di ganda campuran, ketimbang Praveen Jordan/Debby Susanto sebagai pasangan yang sudah lebih mapan. Selain itu penurunan Jonathan Christie ketimbang Anthony Ginting di sektor tunggal putra. Meskipun Chef de Mission Indonesia, Achmad Budiharto, berusaha keras membantah anggapan tersebut, namun kekuatan susunan tim antara saat menghadapi India dan melawan Denmark adalah fakta yang menunjukkan kebenaran atas anggapan over confident-nya Indonesia saat menghadapi India. Susunan tim pada kedua pertandingan tersebut lebih terkesan pemerataan kesempatan bermain dibanding ingin meraih kemenangan. Namun, apapun penyebabnya, pil pahit sudah harus ditelan. Hendaknya hal ini menjadi pelajaran penting bagi perbulutangkisan Indonesia untuk menatap kejuaraan atau turnamen-turnament selanjutnya ke depan. Salah satu yang harus menjadi sorotan adalah pemerataan kualitas kekuatan di semua nomor. Kondisi ini menggambarkan proses regenerasi pemain bulutagkis nasional berjalan sangat lamban. Oleh sebab itu, fokus pada pembinaan regenerasi menjadi harga mati. Tidak bisa ditawar lagi, PBSI harus memberikan perhatian lebih serius terhadap pembinaan pemain-pemain muda agar lebih cepat berkembang kualitasnya. Cara pandang PBSI terhadap peta persaingan bulutangkis dunia juga sudah perlu di-update, untuk selanjutnya beradaptasi dengan perubahan kekuatan bulutangkis yang sudah kian meluas di dunia, Negara-negara yang dulu tidak pernah terdengar kekuatan bulutangkisnya, kini sudah muncul seperti Israel, Turki, Spanyol, bahkan Islandia. India yang dua tahun lalu dikalahkan Indonesia di Piala Sudirman, tahun ini sudah mampu mengganjar balasannya. Bahkan, mampu menempatkan Pusarla V. Shindu di podium dalam Olimpiade Rio de Janeiro. Hal ini membuktikan pemain-pemain muda negara lain sudah berkembang lebih cepat, sedangkan Indonesia berjalan lambat. (*)
Fokus Regenerasi Harga Mati
Sabtu 27-05-2017,03:57 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :