Kampung Rumpaksinang di Kelapa Dua Terhimpit Hutan Beton

Kamis 10-01-2019,06:03 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

Sebuah kampung tetap bertahan di tengah kepungan hutan beton kawasan elite Gading Serpong, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Kampung yang dihuni lebih dari 3.000 warganya berjuang mempertahankan identitas dan tanahnya. KHANIF LUTFI- Gading Serpong Matahari sangat terik meski jam masih menunjukkan pukul 7 pagi. Lalu lalang kendaraan memadati kawasan Gading Sserpong, Kelurahan Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Sudah lebih satu dekade, kawasan itu menjelma menjadi sebuah kawasan kota mandiri lengkap dengan fasilitas modern. Gading Serpong merupakan kawasan yang dibangun pengembang raksasa Paramount Land dan Summaercon Serpong. Tak jauh dari lokasi ini, ada pula kota mandiri, BSD City kawasan perumahan dan pusat bisnis produk Sinarmas Land. Isinya pun dikemas lebih modern. Full hunian mewah, pusat komersial, fasilitas pendidikan dan tentunya gaya hidup. Meski demikian, tidak semua warga di sini larut dalam kemewahan. Sebuah kampung bernama Rumpaksinang masih tetap eksis menjaga identitasnya sebagai pemukiman penduduk tradisional tengah roda pembangunan properti yang terus menggila. Era 90-an kawasan ini hanya sebuah kebun rambutan dan persawahan. Hampir semua penduduknya bermata pencaharian petani. Hingar bingar gaya modern Jakarta tak pernah mampir ke daerah ini. Meski jaraknya hanya 20 kilometer. Seiring berjalannya waktu, areal persawahan itu pun berubah menjadi perumahan. Kampung Rumpaksinang pun berada di tengah rimba beton. Di kawasan ini pendidikan tetap menjadi nomor satu. Sebuah pesantren, madrasah ibtidaiyah dan dua buah sekolah dasar berdiri di tengah kampung tersebut. Siswanya rata-rata warga setempat. Sementara SMP dan SMA, di pusat Kecamatan Kelapa Dua. Saat berada di salah satu sekolah, wartawan mendapati para siswanya tengah diajari mengenal komputer. Sang pengajarnya dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang jaraknya tak jauh dari kampung tersebut. "Kami sedang ada program pengabdian masyarakat, jadi siswa-siswi di sini kita ajari memahami dunia komputer," terang Jeni, salah seorang pengajar di sana. Sebuah proyektor memantulkan program belajar komputer. Meski demikian keriuhan para siswa masih tetap seru. Tak semua siswa belajar, ada sebagian pula yang sibuk dengan game di smartphone-nya. Mereka masih menganggap dunia telepon pintar lebih menyenangkan ketimbang komputer. "Ya mesti sabar mas," kata Jeni. Kampung Rumpaksinang bak sebuah ikon unik di Kawasan Gading Serpong. Kampung ini dikelilingi pagar setinggi lima meter menjadi yang menjadi garis batas dengan kompleks Gading Serpong. Batas ini pun menjadi pembeda kehidupan warga desa yang sederhana dengan penghuni apartemen yang menyuguhkan kemewahan. Meski demikian, warga terbilang acuh terhadap kemajuan dan ingar bingar kemewahan warga jetset di balik pagar tersebut. Bagi Yusuf, tokoh masyarakat sekitar, nama Kampung Rumpaksinang, mengandung banyak arti. Ada yang menyebut Rukun Kompak Pasti Menang. Ada juga yang bilang kampung tersebut terkenal dengan ciri khas makanan tradisional yakni opak dan rengginang. Meski demikian, warga di sini masih memegang pesan leluhur, ulama kampung tersebut, Abuya Musa dan Abuya Sueb. "Pesan tersebut agar warga tetap rukun dan terus membangun kampungnya," ujar Yusuf. Ya, kedua ulama ini merupakan tokoh pendiri kampung tersebut. Pesan dari kedua tokoh itulah yang terus dipegang teguh warga kampung. Rata-rata bangunan penduduk telah permanen. Jalan-jalan kampung tersebut hanya cukup untuk dilintasi dua sepeda motor dengan bahan dari paving block. Mobil pun tak bisa berbagi jalan. Layaknya kampung di tengah pusat perumahan, banyak rumah yang diubah menjadi kos-kosan maupun warung makan. Penghuninya kos-kosan rata-rata pekerja di kawasan bisnis Gading Serpong. Lokasinya strategis. Hanya berjarak kurang lebih 800 meter dari pusat perbelanjaan terbesar Summarecon Mall Serpong (SMS). Salah satu keturunan Abuya Sueb, Ade Haiz mengatakan, warga masih tetap menyelenggarakan takbiran dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ajaran Abuya Musa dan Abuya Sueb masih menjadi pondasi identitas warga agar jiwa keimanan tetap terjaga. "Kita di sini tetap bertahan menjaga tanah kelahiran kami. Berbagai godaan memang banyak dialami warga, agar mau menjual tanahnya ke pengembang perumahan di Gading Serpong, namun tetap kami tolak," ucapnya. Modal kekompakan membuat warga tak bergeming meski lahannya dihargai Rp10 juta permeter. Bagi warga, andai tanah mereka dijual, otomatis mereka harus pergi meninggalkan keluarga dan kenangan masa kecilnya. Pesan agar kompak tak menjual lahannya terus melekat dan diresapi dalam hati. "Kalau kami jual lahan ini lagi, kami mau tinggal dimana?" tanya Ade. Sebuah pertanyaan yang menusuk batin. Meninggalkan kampung ini serasa menggoyahkan perasaan betapa pentingnya keluarga di atas keluarganya. Menjaga identitas dan harapan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait