Waspadai Aksi Terorisme Jelang 2019
Jakarta - Perhelatan akhir tahun 2018 akan berlangsung dalam beberapa hari lagi. Aparat penegak hukum hendaknya mewaspadai aksi terorisme dari kelompok separatis tertentu. Hal itu disampaikan oleh pengamat terorisme Al Chaidar dalam keterangan tertulis seperti dikutip dari Fajar Indonesia Network (FIN), Kamis (27/12). Chaidar memaparkan Densus 88 Antiteror sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menghadapi aksi-aksi teror seharusnya mampu mendeteksi plot-plot teroris atau rencana aksi teroris. "Sebelum kejadian, Densus seharusnya mampu mengantisipasinya," kata Al Chaidar. Menurut Al Chaidar, untuk ke depan atau tahun 2019, Densus harus terus mewaspadai terorisme yang dilakukan kelompok separatis, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ada di Papua, akan terus menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak hanya OPM, kelompok separatis seperti Republik Maluku Selatan (RMS), diam-diam akan menjadi duri dalam daging bagi pemerintah Indonesia. Yang menarik, Al Chaidar juga menyinggung soal kelompok Paraku di Kalimantan. Jangan lupa, kelompok Paraku juga dapat menjadi kendala bagi pemerintah dalam menjaga keamanan dalam negeri. Kelompok-kelompok separatis ini melakukan teror untuk menunjukkan eksistensi mereka kepada pemerintah. Jadi, separatis kedaerahan akan mewarnai keamanan dalam negeri baik jelang penutupan maupun di tahun 2019 mendatang, ujar Al Chaidar. Selain kelompok separatis, Densus juga harus mewaspadai familia teror atau teror yang dilakukan satu keluarga. Tercatat sudah ada tiga kejadian yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo. Di Surabaya ada dua kasus dan satu di Sidoarjo, tukas Al Chaidar. Bukan tidak mungkin, tambah Al Chaidar, familia teror ini akan terjadi lagi di tahun 2019. Familia Teror ini terbilang sulit terlacak karena menggunakan aplikasi tersembunyi untuk saling terkoneksi dengan anggota jaringan lain. Mereka menggunakan aplikasi telegram dan game untuk saling berkomunikasi. Aplikasi game digunakan jaringan teroris karena sulit terlacak. Bagaimana bisa dilacak, kalau mereka berpura pura bermain game antarmereka sendiri? Padahal sambil main game, mereka memasukkan kode-kode untuk berkomunikasi, kata Al Chaidar. Karena itu, Densus harus mampu mengantisipasi penggunaan game untuk mereka berkomunikasi. Familia teror ini sulit ditembus karena mereka sudah terdoktrin untuk melakukan teror. Mereka ini didoktrin oleh Jemaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Jamaah Ansarud Daulah (JAD). Jadi sudah dicuci otak sehingga sulit berubah pendiriannya dan fokus dalam menjalankan tujuannya, tukas Al Chaidar. Hal senada juga disampaikan oleh, Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil meminta agar pihak keamanan khususnya TNI-Polri untuk dapat mengantisipasi serangan terorisme jelang penutupan tahun 2018 dan pada tahun 2019 mendatang, Lakukan antisipasi pencegahan supaya tidak kecolongan kembali seperti yang sudah sudah, kata Nasir. Adapun, sambung Politikus asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), antisipasi yang perlu dilakukan oleh petugas keamanan yakni jangan sampai adanya gangguan terorisme ketika hari tahun baru hingga pilpres 2019. Sementara itu, dalam konferensi pers Akhir Tahun 2018 di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, aksi terorisme pada 2018 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2018, tercatat terjadi 17 aksi terorisme pada tahun 2018, sementara pada tahun 2017 tercatat terjadi 12 aksi terorisme. Kapolri menuturkan pihaknya lebih mudah melakukan tindakan penangkapan setelah bom Surabaya dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 2018. "Kriminalisasi terhadap perbuatan awal ini bagus sehingga Polri bisa mencegah atau melakukan 'preemtive strike' daripada menunggu ada barang bukti terlebih dahulu," ujar Kapolri. Dengan UU Nomor 5 Tahun 2018, ujar Tito Karnavian, Polri berhasil mencegah teror sebelum menghadapi perhelatan besar Asian Games 2018, Asian Para-Games 2018 serta pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia. Sebanyak 270 orang ditangkap karena ancaman teror dan Polri mengetahui petanya sehingga saat Asian Games aksi teror jauh menurun. Jumlah pelaku teror yang berhasil diungkap selama 2018 sebanyak 396 orang dengan tindak lanjut penanganan penegakan hukum sidang 141 orang, penyidikan 204 orang, meninggal karena penegakan hukum 25 orang, meninggal bunuh diri 13 orang, divonis 12 orang, meninggal sakit satu orang. Sementara jumlah personel Polri yang menjadi korban teror pun meningkat dibanding 2017, yakni korban gugur dari empat orang menjadi delapan dan personel terluka dari 14 menjadi 23 personel. Namun, secara umum jumlah total kejahatan baik kejahatan konvensional, transnasional, kekayaan negara dan yang berimplikasi kontijensi selama 2018 menurun pada 2018.(frs/fin/Antara)
Sumber: