Tarif Cukai Plastik Tidak Mendesak
JAKARTA --Pengenaan tarif cukai plastik tidak mendesak untuk dilakukan. Sebaliknya hal yang terpenting harus dilakukan pemerintah adalah memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap pengelolaan sampah plastik. "Kami menolak (pengenaan tarif cukai plastik), karena masalahnya adalah harus ada edukasi dari pengelolaan sampah," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia, Fajar Budiono dalam diskusi di Jakarta, Selasa (18/12). Fajar mengatakan, perubahan paradigma tata kelola sampah dari sekedar 'kumpul, angkut, buang' menjadi 'pilah, angkut, proses' harus diupayakan agar pengelolaan limbah plastik yang selama ini merugikan lingkungan hidup dapat lebih terkendali. Ia juga mengingatkan adanya peningkatan fungsi bank sampah agar dapat menjadi industri pengolah sampah serta mendorong perbaikan kualitas sumber daya manusia supaya pengelolaan manajemen sampah dapat menjadi lebih optimal. "Pemberian insentif kepada industri yang mau melakukan daur ulang sampah juga penting," kata Fajar. Menurut Fajar, upaya pengelolaan sampah seperti ini layak untuk dilakukan karena pengenaan tarif cukai plastik bisa memberatkan sektor industri dan belum ada jenis tas belanja lain yang bisa digunakan masyarakat selain menggunakan plastik. "Implementasi penerapan cukai plasik bisa lebih rumit untuk dilakukan, terutama pengawasan penggunaan di pasar tradisional. Selain itu, belum ada data produksi plastik yang tepat. Data ini penting agar kebijakan yang dilahirkan tidak salah dosis," ujarnya. Di tempat yang sama, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengingatkan penerapan tarif cukai plastik bisa dilakukan untuk mengurangi konsumsi plastik. Selain juga untuk menekan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. "Ini jelas tidak semata-mata untuk mencari keuangan negara, karena konsumsi plastik perlu dikendalikan," kata Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Hariyanto. Nirwala mengatakan peredaran plastik perlu diawasi karena telah menyebabkan ekses negatif terhadap masyarakat dan lingkungan hidup. Sehingga, menurutnya, perlu ada pengawasan dari segi peredaran agar konsumsi komoditas ini makin terbatas. Meski demikian, ia mengakui tidak semua plastik memenuhi kriteria untuk dikenakan tarif cukai sehingga butuh penerapan tarif yang menjamin asas keadilan agar tidak menimbulkan resistensi berlebihan dari para pelaku usaha industri plastik. "Tidak semua jenis plastik dikenakan, jadi harus jelas jenisnya apa, karena selama ini berdasarkan penelitian, semua industri menggunakan plastik, bahkan jok mobil saja dibungkus plastik," kata Nirwala. Berdasarkan diskusi antara kementerian terkait, menurut dia, tarif cukai plastik tersebut dapat dikenakan untuk plastik yang sering digunakan untuk belanja dengan ketebalan 75 mikron. Peneliti Madya Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto menambahkan, saat ini Indonesia mulai mengalami darurat sampah plastik. Oleh karena itu, salah satu cara mengubah perilaku masyarakat agar mau mengurangi penggunaan plastik adalah dengan mengenakan instrumen finansial yaitu melalui penerapan tarif cukai plastik. "Kalau hanya regulasi saja tidak cukup, salah satunya harus melalui pemaksaan dan paling cepat dengan instrumen finansial. Hanya dengan itu cara paling ekstrem untuk mengubah perilaku," ujar Joko. Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan pengenaan tarif cukai plastik sangat bermanfaat untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Beberapa negara sudah menerapkan tarif cukai yang telah efektif menekan penggunaan plastik antara lain Irlandia, Denmark, Wales, Skotlandia, Belgia, Rumania, Hong Kong, Afrika Selatan dan Botswana. "Afrika Selatan dan Botswana bahkan menggunakan konsep insentif dan disinsentif, yang berarti semakin tebal plastik, semakin kecil cukainya, karena berpotensi utuk digunakan lagi," ujarnya. Selain penerapan tarif cukai plastik, ia juga mengusulkan adanya instrumen fiskal berupa insentif yang bisa diberikan kepada pelaku usaha yang mau mengurangi penggunaan plastik. Meski demikian, Direktur Eksekutif CITA ini, mengatakan terkadang permasalahan dalam kebijakan penerapan tarif tersebut, bukan di kalangan masyarakat, namun pada koordinasi antara kementerian teknis. "Kita harus mengkritisi dan melakukan sinergi agar jangan ada kementerian teknis yang tidak mendukung. Maka perlu pemahaman, agar kebijakan ini lebih tepat sasaran," ujarnya. Sebelumnya, pemerintah sudah berencana untuk menerapkan tarif cukai plastik yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi dan melindungi lingkungan hidup dari sampah plastik yang jumlahnya makin meningkat setiap tahunnya. Meski demikian, masih belum ada titik temu antara pemangku kepentingan terkait termasuk dari pelaku usaha industri plastik sehingga penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaan tarif cukai plastik urung dilaksanakan. Padahal pemerintah sudah menargetkan penerimaan dari cukai plastik sebesar Rp 1 triliun pada 2017, sebesar Rp 500 miliar pada 2018 dan sebesar Rp 500 miliar pada 2019.(Ant)
Sumber: