Tantangan Ekonomi 2019 Masih Besar
JAKARTA – Tantangan perekonomian 2019 diperkirakan masih cukup besar. Di tataran global, dampak perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat (AS) pada sejumlah mitra dagang terutama China akan semakin terasa di sektor riil. Selain itu, memanasnya harga minyak mentah serta tren kenaikan suku bunga secara global seiring normalisasi kebijakan Amerika Serikat (AS) menjadi tantangan ekonomi lain pada tahun depan. Sementara di level nasional, persoalan depresiasi rupiah seiring defisitnya neraca transaksi berjalan menjadi tantangan perekonomian domestik yang memerlukan respons kebijakan secara cepat. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2019 sebesar 5%. Proyeksi Indef lebih rendah dari target pemerintah dalam APBN 2019 sebesar 5,3%. “Tantangannya adalah perang dagang yang meluas, melebar ke negara-negara yang tidak hanya menyangkut AS dan China saja. Kita perkirakan memang pertumbuhannya tidak sebesar asumsi APBN,” ujarnya di Jakarta. Eko mengatakan, di sisi PDB pengeluaran, faktor landainya pertumbuhan konsumsi rumah tangga swasta masih menjadi tantangan utama dalam mencapai tingkat pertumbuhan sesuai yang ditargetkan. “Kinerja investasi yang melambat disertai pula turunnya peringkat kemudahan dan pelaksanaan pilpres menjadi tantangan dinamika ekonomi 2019,” tuturnya. Secara rinci Indef memproyeksikan rata-rata nilai tukar rupiah pada 2019 sebesar Rp15.250 per USD. Secara umum fluktuasi nilai tukar pada 2019 diperkirakan akan lebih rendah jika dibandingkan tahun 2018. “Memang cukup tinggi karena faktor melebarnya defisit transaksi berjalan,” kata Eko. Adapun harga minyak dunia pada 2019 diproyeksikan sebesar USD75 per barel, sedikit lebih tinggi dari asumsi makro APBN 2019 sebesar USD70 per barel. Inflasi 2019 sebesar 3,5% seiring laju daya beli yang juga rendah. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) berada di angka 5,3%. Angka kemiskinan pada 2019 diprediksi mencapai 10%. Eko menuturkan, sektor industri masih menjadi penyumbang utama dalam perekonomian Indonesia walaupun peranannya semakin menurun. “Beberapa sektor yang kita harapkan mendorong, yaitu industri makanan dan minuman yang mempunyai kontribusi besar. Kami proyeksikan tumbuh sekitar 8,5%,” tuturnya. Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan, perang dagang antara AS dan China akan berdampak pada memburuknya kinerja ekspor kedua negara itu. Namun di sisi lain, akan menguntungkan bagi negara yang mampu memanfaatkan situasi ini. “Ekspor Amerika Serikat berkurang -0,63% dan China sebesar -0,90%. Bagi Indonesia, meskipun ada kenaikan ekspor sebesar 0,14%, tapi impor meningkat 0,42%,” tuturnya. Enny menuturkan, peluang perang dagang hadir sebab adanya kemungkinan capital out flow dari AS maupun China. Karena itu, para investor sedang mempertimbangkan mengalihkan modal mereka ke negara berkembang dan negara yang memiliki pasar besar. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Indonesia bukan negara yang terlibat langsung dalam perang dagang AS dan China. Namun, kedua negara besar itu merupakan partner dagang utama bagi Indonesia. “Sebenarnya kita bukan peserta perang dagang, tetapi kena dampak dari perang dagang. Dampak itu disebut second round effect. Kalau produksi yang bahan bakunya di Indonesia, ya kena di sini,” ujarnya. Darmin menuturkan, perang dagang juga memberikan dampak positif namun tidak langsung. “China tentu berpikir, termasuk investor di China, baik orang AS atau Eropa, dia mulai mau relokasi. Dampak tidak langsung ini cenderung positif kepada kita,” katanya.(okz)
Sumber: