RI Masih Defisit Tenaga Ahli
JAKARTA—Indonesia membutuhkan tambahan tenaga kerja terampil sebanyak 56 juta orang hingga 2030 untuk menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan, untuk menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ke-7 di dunia, Indonesia membutuhkan 113 juta pekerja terampil. Syangnya, hingga saat ini, republik ini baru memiliki 57 juta tenaga kerja terampil. “Sekarang ini Indonesia hanya punya separuh dari [target] 113 juta tenaga tekerja terampil, yakni sekitar 57 juta pekerja. Sehingga, kita membutuhkan tambahan 3,8 juta tenaga per tahun untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan tenaga kerja terampil pada 2030,” ujarnya, belum lama ini. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, dari 113 juta angkatan kerja di Indonesia pada tahun ini, 58% di antaranya merupakan merupakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dengan rerata angka pendidikan nasional sekitar 8,8 tahun. “Ini artinya rerata [angkatan kerja] Indonesia enggak lulus SMP. Profil tenaga kerja cukup menantang atau mengkhawatirkan. Terlebih, Indonesia pada 2030 akan mengalami bonus demografi sehingga perlu memperbaiki mutu pendidikan formal yang menjadi cikal bakal sumber daya manusia ke depan,” katanya. Hanif menuturkan, selain memperbaiki mutu pendidikan, Indonesia harus segera meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Untuk itu, Kemenaker telah membuat program tripple skilling (skilling, reskilling, dan upskilling) untuk memastikan masyarakat memiliki keterampilan dan kompetensi, sekaligus kemampuan beradaptasi dalam waktu yang tidak terlalu lama. “Jadi, mereka yang tidak punya keterampilan, kami beri keterampilan. Yang keterampilannya baru sedikit kami tambah. Balai latihan kerja [BLK] kami dipermudah syaratnya yaitu sudah tidak lagi menggunakan syarat umur dan minimal pendidikan, sehingga siapapun yang mau meningkatkan kerjanya bisa masuk tanpa harus takut umur dan pendidikan.” Pada 2017, sebut Hanif, Kemenaker membangun 50 BLK dengan target pelatihan 5.000 orang. Pada 2018, telah dibangun 75 BLK komunitas baru dengan target pelatihan sebanyak 7.500 orang. Tahun depan, pemerintah akan membangun 1.000 BLK komunitas dengan target pelatihan 100.000 orang. Strategi lain yang dilakukan Kemenaker untuk meningkatkan keterampilan adalah masifikasi agar dapat meratakan penyebaran tenaga kerja terampil di Indonesia. Adapun, masifikasi pelatihan kerja yang dilakukan pemerintah hingga Oktober tahun ini telah menggaet 331.909 peserta. Lalu, untuk sertifikasi sebanyak 1,14 juta peserta dan pelatihan produktivitas pekerja mencapai 26.954 peserta. “Untuk pemagangan, pada Oktober 2018 sudah mencapai 144.027 peserta. Tahun depan, kami targetkan bisa memasukan 400.000 peserta yang magang. Hasilnya, anak-anak magang kami sertifikasi dan kami harap sertifikasi tersebut bisa berlaku di perusahaan sehingga mereka tak dibayar upah SMA/SMK, tetapi sesuai kemampuan,” katanya. Pada kesempatan yang sama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menuturkan, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Tanah Air, salah satunnya dilakukan dengan perbaikan kualitas pendidikan lewat program revitalisasi sekolah menengah kejuruan (SMK). Revitalisasi SMK harus dikebut guna memenuhi kebutuhan pasar kerja dengan reorientasi yang melibatkan dunia usaha dan para pelaku industri. Saat ini, pemerintah juga akan mempermudah pembukaan sekolah kejuruan di seluruh Indonesia. Pasalnya, sebut Muhadjir, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik untuk siap bekerja pada bidang tertentu. “Kami terus melakukan sejumlah perbaikan dan penataan SMK di Tanah Air,” katanya. Dia mendata, total revitalisasi SMK yang telah dilakukan dengan industri pada tahun ini mencapai 2.700 sekolah, sedangkan total pembangunan tecno park mencapai 560 unit. Pemerintah, sebutnya, juga membangun SMK kemaritiman sejumlah 239 unit, SMK pertanian sebanyak 279 unit, dan SMK pariwisata sejumlah 136 unit. Hingga akhir 2017, jumlah SMK baik negeri maupun swasta di Indonesia mencapai 13.926 unit, meningkat dari tahun lalu yang 13.236 unit. Di sisi lain, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang P.S Brodjonegoro mengakui masih ada ketidaksesuaian antara lulusan sekolah menengah/pendidikan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja tersebut. “Kuncinya pertama sisi suplai dari segi pendidikannya harus mulai melihat kebutuhan lapangan kerja, ini berlaku di pendidikan umum dan vokasi. Untuk pendidikan umum ya mungkin bidang-bidang teknik harus diperbanyak, [dan] bidang sosial harus disesuaikan. Jangan sampai kita punya banyak sarjana tapi mereka kesulitan mencari pekerjaan, karena itu tingkat kompetensi dan kesesuaian harus diperbaiki.” Bambang berpendapat, untuk menghadapi era Industri 4.0, tenaga kerja diharapkan dapat memiliki keterampilan dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Untuk itu, pemerintah menilai pendidikan vokasi bisa menjadi solusi yang dikedepankan. Berdasarkan RAPBN 2019, pendidikan vokasi mendapatkan pembiayaan senilai Rp25,9 triliun meningkat dari tahun sebelumnya sejumlah Rp23,5 triliun. Pagu tersebut dibagi-bagi untuk berbagai kementerian sejumlah Rp16,86 triliun dan transfer ke daerah senilai Rp9,06 triliun. Saat dihubungi terpisah, pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak meminta agar alokasi anggaran pengembangan vokasi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja diberikan pada satu lembaga atau kementerian. Anggaran pengembangan vokasi pada APBN 2018 bernilai sekitar Rp23,5 triliun dan tersebar di 13 kementerian. “Mestinya dana vokasi ini dijadikan di 1 tempat [kementerian] untuk pengembangan keterampilan tenaga kerja. Sebab, tak semua kementerian mengoptimalkan dana ini,” ujarnya. Selain itu, tambah Payaman, yang diperlukan saat ini yakni sertifikasi keahlian tenaga kerja di sejumlah bidang. Pasalnya, angka sertifikasi masih terbilang kecil yakni kurang dari 1% dari total jumlah tenaga kerja yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan mahalnya biaya sertifikasi keahlian.(bis)
Sumber: