Dolar Naik, Perajin Tahu Kelimpungan

Dolar Naik, Perajin Tahu Kelimpungan

RAJEG — Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika memaksa perajin tahu di Desa Sukamanah, Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, mengurangi produksi. Harga kedelai sebagai bahan baku tahu semakin hari terus melonjak. Terakhir, harganya mencapai Rp 7.500 per kilogram. Padahal dua bulan lalu, harga kacang kedelai masih Rp 6.700 per kilogram. Seorang perajin tahu, Hendy, mengatakan, distributor kacang kedelai selama ini menggunakan barang impor, sehingga harga kacang kedelai terus meningkat saat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar. Sepekan belakangan dolar terus menguat terhadap rupiah. Bahkan sudah sempat mencapai Rp 15.000/dolar. “Bahan baku kacang kedelai yang kami gunakan masih impor. Jadi, harganya bergantung nilai tukar dolar. Naiknya dolar menjadi salah satu faktor harga kacang kedelai semakin tinggi saat ini,” kata Hendy, Kamis (6/9). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, kata dia, menambah beban produksi usaha yang sudah dia jalani sejak 2000-an lalu. Menyikapinya, dia mengurangi jumlah pekerja. Selanjutnya, mengurangi produksi tahu, karena daya beli masyarakat terhadap tahu juga sedang lesu. “Saya tidak bisa menyiasati dengan menaikkan harga jual atau mengurangi ukuran tahu. Dikhawatirkan, pedagang yang mengecerkan tahu milik saya semakin kehilangan pembeli, lalu pedagang pindah ke perajin lain yang menjual tahu lebih murah,” jelasnya. Saat ini, ia membeli kacang kedelai dengan harga Rp 7.500 per kilogram, dengan harga jual tahu ke pedagang diantaranya ukuran tahu kecil Rp 1.400, sedang Rp 1.800, besar Rp 2.200 per pcs. “Dengan harga jual tahu saat ini saja, daya beli masyarakat sedang turun. Bagaimana kalau harga tahunya dinaikkan, bisa semakin turun daya beli masyarakat. Lalu, perajin tahu juga tidak pernah kompak menaikkan harga jual tahu ke pedagang,” keluhnya. Ia menambahkan, harga kacang kedelai terus-terusan naik. Dua bulan lalu, sambungnya, harga kacang kedelai masih Rp 6.700 per kilogram. Sekarang, harga kacang kedelai sudah Rp 7.500 per kilogram. Menurutnya, dengan harga sebesar itu biaya operasional otomatis bertambah, sehingga keuntungan semakin menipis. “Sekarang bikin tahu cuma dapat risikonya saja, harga jual segitu-gitu saja. Tapi, biaya oprasional semakin tinggi. Kalau ada pedagang yang mengembalikan tahu yang nggak habis terjual, semakin habis deh keuntungan kami,” ujarnya. Di bagian lain, Satgas Pangan Polri memastikan setidaknya ada dua bahan yang naik. Yakni jagung dan pakan ternak. Kondisi itu bisa memicu efek domino kenaikan harga pangan lainnya. Kasatgas Pangan Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, kenaikan harga kedua bahan itu bisa jadi karena pengaruh melemahnya rupiah. Namun, perlu untuk dipastikan kembali, mengingat justru ada sedikit penurunan harga telor dan ayam. “Pakan ayamnya naik, tapi harga telor dan daging malah turun. Ini dicek apa karena produksinya malah banyak,” ungkapnya. Kondisi itu bukan berarti bahwa tidak akan ada kenaikan harga. Yang pasti, gejolak harga itu harus diwaspadai. “Kita harusnya mulai mengantisipasi,” terang jenderal berbintang dua tersebut. Apalagi, saat ini ditambah dengan musim kemarau yang membuat di beberapa daerah kekurangan air. Produksi padi juga berkurang, walau stok beras masih sangat cukup. “Produksi cabai juga ada yang gagal karena cuaca terlalu panas,” ujarnya. Kombinasi dari berbagai faktor itu membuat kondisi perekonomian lebih rawan. Polri tidak sekedar memandang kemungkinan kenaikan harga pangan, namun juga bisa jadi menyimpan potensi gangguan keamanan. “Maka, tidak hanya satgas, intelijen juga bekerja,” ungkapnya. Walau begitu, dia mengatakan bahwa semua masih dalam kendali. Sebab, daya beli masyarakat masih cukup baik. “Kami cermati kedepannya bagaimana, apakah kenaikan harga pangan bisa mengganggu situasi keamanan,” ujarnya. Yang pasti, sebagai Kasatgas Pangan, dia berharap bahwa ekonom-ekonom serta pemerintah bisa menemukan solusi secepatnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian. “Jangan sampai menjalar ke situasi keamanan,” paparnya. Perlu diketahui, memburuknya kondisi ekonomi bisa jadi merusak situasi kemanan. Bila berkaca pada 1998, krisis ekonomi memicu terjadinya kerusuhan dimana-mana. Kondisi itu perlu dicegah agar kejadian yang sama tidak terulang. (mg-2/jpg/bha)

Sumber: