Kementerian ESDM Jamin Harga BBM Tak Naik
Jakarta -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan tidak akan mengerek harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis solar, minyak tanah dan BBM penugasan jenis Premium. "Pemerintah tidak merencanakan kenaikan harga BBM dalam waktu dekat," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam konferensi pers di kantor Kementerian ESDM, Selasa (4/9) malam. Alih-alih mengerek harga BBM, pemerintah ingin fokus menahan tekanan defisit transaksi berjalan. Misalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menekan impor dan mendorong ekspor pada waktu bersamaan. Di sektor ESDM, pemerintah melakukan perluasan mandatori program pencampuran biodiesel 20 persen, baik untuk solar pemenuhan kewajiban domestik (Public Service Obligation/PSO) yang mendapatkan subsidi dan non-PSO. Kebijakan ini diperkirakan bisa menghemat impor minyak tahun ini senilai US$2 miliar hingga US$2,3 miliar. Kemudian, pemerintah juga menunda pengerjaan proyek pembangkit listrik yang belum mencapai tahap pemenuhan kewajiban pembiayaan (financial closing) dengan kapasitas total 15.200 MW. Dengan pergeseran proyek ini, tekanan untuk pengadaan barang impor demi kepentingan proyek pembangkit listrik bisa berkurang sekitar US$8 miliar hingga US$10 miliar mengingat saat ini rata-rata Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) proyek pembangkit listrik ada di kisaran 20 hingga 40 persen. Selain itu, pemerintah akan membatasi impor barang modal yang bisa diproduksi di dalam negeri. Pemerintah juga mendorong seluruh eksportir sektor ESDM untuk menempatkan devisanya di dalam negeri. Sebagai informasi, saat ini solar bersubsidi dibanderol seharga Rp5.150 per liter, minyak tanah Rp2.500 per liter dan premium Rp6.450 per liter. Langkah pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi untuk membantu penguatan Rupiah, dinilai Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara masih akan memperlebar defisit transaksi berjalan. Menurutnya, pemerintah memiliki solusi atau jalan pintas lain untuk bantu menguatkan Rupiah. "Solusi yang efektif adalah mencabut sementara pungutan ekspor CPO, selama ini pungutan ekspor untuk CPO sebesar US$ 50 untuk mentah dan US$ 30 untuk olahan," kata Bhima seperti dikutip detikFinance, Rabu (5/9. Dia menjelaskan saat ini minyak sawit merupakan penyumbang devisa non migas terbesar. Menurut Bhima hambatan bea masukk ke India jadi persoalan yang membuat kinerja ekspor CPO tidak optimal. "Jika pungutan ekspor direlaksasi sementara daya dorong sawit diharapkan menekan defisit perdagangan dan kuatkan kurs Rupiah," tambah dia. Bhima menambahkan, relaksasi tersebut bisa diketatkan kembali ketika ekspor sudah mulai stabil jadi pungutan ekspor CPO bisa dikenakan. Beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM telah memutuskan untuk menunda pengerjaan sejumlah proyek listrik bagian mega proyek 35 ribu MegaWatt (MW). Proyek yang akan ditunda adalah proyek-proyek yang belum memasuki tahap pemenuhan kewajiban pembiayaan (financial closing) yang kapasitas total mencapai 15.200 MW dengan total investasi berkisar US$24miliar hingga US$25 miliar. Tadinya, proyek-proyek tersebut ditargetkan rampung pada 2019 mendatang. Namun, demi menekan defisit neraca transaksi berjalan, pemerintah membatasi aktivitas impor. Dengan pergeseran proyek ini, tekanan untuk pengadaan barang impor demi kepentingan proyek pembangkit listrik bisa berkurang sekitar US$8 miliar hingga US$10 miliar. Saat ini, rata-rata Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) proyek pembangkit listrik ada di kisaran 20 hingga 40 persen. Lebih lanjut Jonan menegaskan penundaan pengerjaan sebagian proyek pembangunan pembangkit tidak akan mengganggu pencapaian rasio elektrifikasi yang mencapai 99 persen pada 2019, meningkat dari posisi saat ini yang berada di kisaran 97 persen. (cnn)
Sumber: