PLN Rugi Rp5,35 Triliun
Jakarta -- PT PLN (Persero) menderita kerugian pada sepanjang semester I 2018 kemarin (unaudited). Dikutip dari laporan keuangan perusahaan setrum pelat merah semester I 2018 yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), tingkat kerugian mereka mencapai Rp5,35 triliun. Kondisi keuangan tersebut berbanding terbalik jika dibandingkan periode sama tahun 2017 lalu. Pasalnya, saat itu PLN masih mampu mencetak untung Rp2,03 triliun. Direktur PLN Syofvi Felienty Roekman mengatakan kerugian tersebut dipicu oleh pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini. Pelemahan tersebut telah meningkatkan beban operasional PLN baik untuk membeli batu bara, gas maupun bahan bakar minyak. "Pada waktu penyusunan rencana kerja awal tahun, asumsi rupiah masih Rp13.400, sekarang sudah di atas Rp14 ribu per dolar AS, itu memberi pengaruh," katanya saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (29/8). Syofvi mengatakan, sebenarnya PLN sudah berupaya untuk melakukan lindung nilai untuk menghindari pembengkakan biaya operasional akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Tapi, lindung nilai tersebut hanya berlaku untuk tiga sampai enam bulan. Selain dipicu oleh pelemahan, Syofvi mengatakan bahwa kerugian PLN juga disebabkan oleh kenaikan beban pajak tangguhan dari Rp2,9 triliun menjadi Rp 6,9 triliun. Kenaikan beban tersebut membuat beban pajak PLN naik dari Rp3,06 triliun menjadi Rp7,19 triliun. Dari sisi operasional, pendapatan usaha PLN sepanjang semester I 2018 kemarin sebenarnya masih tumbuh 7,4 persen secara tahunan dari Rp122,43 triliun menjadi Rp131,54 triliun. Tapi, pada saat bersamaan beban usaha PLN justru tumbuh 9,3 persen dari Rp130,25 triliun menjadi Rp142,43 triliun. Beruntung, Januari-Juni kemarin PLN mendapatkan topangan dari pembayaran subsidi sebesar Rp25,02 triliun dari pemerintah. Biaya Produksi Bengkak Naiknya nilai tukar dolar As di tambah lonjakan harga minyak, terhadap rupiah ini menjadikan beban biaya produksi PLN membengkak hingga lebih dari Rp10 triliun pada semester I 2018. Direktur Utama PLN Sofyan Basyir menyebut sebagian besar pembengkakan biaya operasional berasal dari pelemahan nilai tukar rupiah, yakni mencapai Rp6 triliun. Pelemahan rupiah berdampak langsung pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan batu bara yang digunakan untuk pembangkit listrik. Ia bilang, setiap depresiasi Rp100 per dolar AS, biaya produksi PLN naik Rp1,3 triliun. Sebetulnya, rugi kurs pada semester pertama bisa menembus Rp7 triliun. Hanya saja, PLN berhemat sekitar Rp1 triliun setelah pemerintah memberlakukan kebijakan harga batu bara khusus bagi kebutuhan listrik sebesar US$70 per ton. "Sejak kebijakan (pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri) domestic market obligation (DMO), sudah ada untung sekitar Rp100 miliar, dan Juni sudah tercatat Rp1,1 triliun. Jadi, rugi ya Rp6 koma sekian triliun," jelasnya di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, beberapa waktu lalu. Makanya, ada kekhawatiran laba PLN akan tertekan lagi hingga akhir tahun. Terlebih, pemerintah juga tidak berencana untuk menaikkan tarif listrik. Di sisi lain, Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto mengatakan PLN sebetulnya masih membukukan laba operasional, kendati biaya kurs membengkak. Peluang mengurangi kerugian kurs masih bisa terjadi sampai sisa tahun ini karena kurs sifatnya fluktuatif. Hanya saja, ia tak mau membeberkan nilai laba operasi pada semester I 2018. Hal itu, lanjut Sarwono, masih akan menunggu hasil audit dari auditor independen. "Jadinya, yang paling utama itu bahwa kami masih punya laba operasi. Sudah itu saja. Kalau kurs itu kan naik turun saja, yang paling penting operasinya masih bagus," katanya.(cnn)
Sumber: