Hasil Simulasi Sulit Selesai dalam Sehari

Hasil Simulasi Sulit Selesai dalam Sehari

JAKARTA – Mekanisme pemungutan dan penghitungan suara pemilu serentak 2019 menjadi catatan serius bagi Komisi Pemilihan Umum. Hasil simulasi pemungutan dan hitung suara di satu tempat pemungutan suara (TPS) menunjukkan bahwa waktu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu tidak mencukupi. Karena itu, KPU meminta Komisi II DPR bisa melakukan pembahasan terkait tafsir pasal UU Nomor 7 Tahun 2017 untuk meminimalkan potensi gugatan. Permintaan itu diungkapkan Plt Ketua KPU Wahyu Setiawan. Menurut Wahyu, ketentuan UU Pemilu mengatur bahwa proses pemungutan dan penghitungan suara di satu TPS harus selesai pada hari yang sama. Namun, simulasi KPU menunjukkan hal yang berbeda. “Kami simulasi dengan batas maksimal 300 pemilih tetap melewati waktu,” ujarnya. Wahyu menjabat Plt ketua menggantikan Arief Budiman yang berada di Kolombo, Sri Lanka. Menurut Wahyu, selama ini problem pungut hitung suara di satu TPS yang melebihi waktu sehari pernah terjadi. Namun, kejadiannya tidak masif. Situasi itu muncul pada saat pemilu legislatif dan pemilu presiden belum berjalan serentak. “Ini menunjukkan kerja KPPS setelah proses pemungutan suara tidak mudah,” katanya. Pada pemilu serentak 2019, proses pungut hitung suara melewati satu hari berpotensi terjadi secara masif. Karena itu, KPU sedang berusaha agar bisa dilakukan terobosan dalam tafsir pungut hitung suara. Namun, terobosan itu membutuhkan konsultasi bersama dengan Komisi II DPR dan pemerintah. “Kalau tidak ada terobosan tafsir, akan menimbulkan persoalan di belakang. Awalnya damai tidak masalah. Namun, karena ada yang kalah, kemudian menjadi masalah,” paparnya. Menurut Wahyu, dalam situasi yang lancar, simulasi pemungutan suara menunjukkan satu pemilih butuh waktu enam menit. Waktu itu dihitung dengan asumsi pemilih datang dan langsung menggunakan hak pilihnya tanpa perdebatan. “Kalau ada perdebatan dulu, waktu yang dibutuhkan lebih panjang,” katanya. Isu lain yang perlu dipertimbangkan pembuat UU adalah syarat pemilih. Aturan UU jelas menyebutkan bahwa yang bisa menggunakan hak pilih adalah pemilih yang memenuhi syarat dan memiliki kartu tanda penduduk elektronik. Menurut Wahyu, aturan itu juga perlu dibahas. Sebab, tidak semua penduduk memiliki KTP-el akibat hambatan administrasi. “Contohnya, di Papua dan Papua Barat. Butuh biaya besar bagi warga untuk datang ke ibu kota kabupaten untuk merekam data kependudukan. Ini juga memerlukan terobosan,” tuturnya. Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menyatakan bahwa DPR siap membahas sejumlah aturan bersama dengan KPU. Menurut dia, sudah ada sejumlah PKPU yang disiapkan masuk agenda pembahasan. “Ada PKPU soal imbas putusan MK terhadap pencalonan DPD, termasuk PKPU pungut hitung,” ujarnya. Amali sepakat dengan pernyataan Wahyu. Sebab, dia juga mengetahui hasil simulasi pungut hitung suara yang diadakan KPU. Amali sepakat bahwa perlu ada tafsir bersama untuk menghindari polemik proses pungut hitung suara yang melewati hari yang sama. “Moga-moga nanti dinamikanya tidak terlalu ekstrem seperti PKPU pencalegan,” jelasnya. Amali menilai jumlah pemilih di satu TPS bisa jadi nanti dikurangi dari batas maksimal 300 menjadi 250. Namun, hal tersebut juga berkonsekuensi pada anggaran. “Sehingga ini perlu penyesuaian kembali. Kami ingin menutup celah kecurangan yang berujung gugatan,” paparnya. (jpg/bha)

Sumber: