Suara Azan Diatur Kemenag
JAKARTA – Seorang warga di Sumatera Utara, bernama Meiliana divonis 18 bulan penjara lantaran memprotes volume suara azan. Vonis itu pun menuai kontroversi sampai jadi sorotan pemberitaan dunia. Sebetulnya Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Agama Islam sudah mengeluarkan aturan tentang pengeras suara masjid. Namun aturan tersebut dibuat pada 1978. “(Masih) berlaku karena belum ada penggantinya,” kata Dirjen Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin. Aturan itu tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Pada aturan tersebut tertulis tentang keuntungan dan kerugian menggunakan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala. Salah satu keuntungan menggunakan pengeras suara seperti tertuang dalam instruksi tersebut adalah sasaran penyampaian dakwah dapat lebih luas. Namun ada pula kerugian dari penggunaan pengeras suara, yakni mengganggu orang yang sedang beristirahat ataupun sedang menyelenggarakan upacara keagamaan. Di dalam surat tersebut, juga sudah diatur dengan rinci tentang pengeras suara. Ketentuannya seperti pengeras suara luar digunakan untuk azan sebagai penanda waktu salat. Kemudian pengeras dalam digunakan untuk doa dengan syarat tidak meninggikan suara. Lalu harus tetap mengutamakan suara yang merdu, fasih, dan tidak meninggikan suara. Pada saat salat subuh boleh menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum azan. Sementara untuk salat subuh, kuliah subuh, dan sejenisnya cukup menggunakan pengeras suara ke dalam masjid atau musala saja. Kemudian untuk salat Asar, Magrib, Zuhur, dan Isya dianjurkan lima menit sebelum azan dikumandangkan bacaan Alquran. Kemudian untuk azan di ketiga waktu salat ini boleh menggunakan pengeras suara ke luar. Sementara itu untuk kegiatan pengajian atau tablig, hanya menggunakan pengeras suara ke dalam. Kondisi ini dikecualikan jika peserta jemaahnya meluber sampai ke luar masjid, baru diperbolehkan menggunakan pengeras suara ke luar. Amin berharap kejadian serupa yang mengalami Meiliana jangan sampai terulang kembali. Untuk itu dia mengimbau ketika terjadi kasus serupa, masyarakat lebih mengutamakan musyawarah. “Musyawarah bersama komponen umat beragama,” katanya. Sebagai informasi, pascavonis pengadilan, simpati dan dukungan mengalir untuk Meiliana, perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara yang dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara karena meminta suara azan dari masjid dikecilkan. Dari situs change.org, sebuah petisi yang menuntut agar Meiliana dibebaskan telah ditandatangani oleh 57 ribu orang. Dukungan lain pun diungkapkan warganet di berbagai platform media sosial. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menaruh atensi terhadap kasus Meliana, yang divonis 18 bulan penjara karena dinilai bersalah dalam kasus penistaan agama. JK menuturkan bila hanya permintaan untuk memelankan suara azan atau pengajian semestinya kasus Meliana itu tidak perlu sampai ke pengadilan. “Apa yang diprotes Ibu Meiliana itu saya tidak paham apakah azannya atau pengajiannya. Tapi tentu apabila ada masyarakat yang meminta begitu itu tidak seharusnya pidana ya,” ujar JK di kantor Wakil Presiden kemarin (23/8). “Dewan masjid saja menyarankan jangan terlalu keras gitu kan,” imbuh dia. Bahkan, JK yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengungkapkan sudah pernah meminta pengurus masjid agar tidak terlalu keras volume pengeras suaranya. Salah satu indikasinya adalah suara azan tersebut supaya jangan melampaui masjid lain terdekat. Biasanya di daerah yang padat jarak antara satu masjid dengan masjid lain sekitar 500 meter. “Karena kalau teralu keras bisa menganggu azan pengajianya di tempat lain. Karena itu maka jangan terlalu keras,” ungkap pejabat 76 tahun itu. Selain itu soal durasi azan dan pengajian sebelum azan disarankan juga tidak terlalu panjag. Dia pun sudah pernah menyerukan dan meminta pengurus masjid agar membatasi waktu pengajian supaya tidak lebih dari lima menit. Sedangkan adzan tiga menit. “Jadi semuanya delapan sepuluh menitlah. Karena jarak masjid dengan masjid itu berdekatan. Jadi jangan, tidak perlu terlalu lama,” ujar dia. Azan yang difungsikan untuk menandai waktu masuk salat itu plus pengajian dalam waktu sepuluh menit tersebut dianggap cukup bagi jemaah untuk menuju masjid. Sehingga tidak perlu lama hingga setengah jam misalnya. Bahkan, pria berdarah Makassar itu pernah pula secara langsung meminta pengurus masjid di rumahnya untuk tidak terlalu lama membunyikan pengajian. Termasuk pula tadarus pada malam hari. “Saya telepon (pengurus) masjid di masjid jangan terlalu malam mengaji. Karena itu masjid juga harus menghormati orang,” ujar JK. Dalam urusan toleransi, menurut JK, antarpemeluk agama juga harus saling menghormati. Bukan hanya mayoritas yang menghormati minoritas. Tapi minoritas pun harus menghormati mayoritas begitu pula sebaliknya. “Kalau toleransi itu kedua belahpihak. Toleransi jangan sepihak,” tambah dia. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Natsir mengatakan, karena proses hukum sudah berjalan, pihaknya menghormati keputusan pengadilan. “Bagi yang tidak puas, bisa naik banding,” ujarnya di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, kemarin (23/8). Namun dari aspek sosial, Haedar menilai kasus ini harus mendapat perhatian. Sebab, kasus tersebut menunjukkan ada sikap saling menghargai yang mulai hilang di tengah masyarakat. Dia menuturkan, para pemuka agama dan masyarakat harus saling memupuk rasa toleransi. Dalam kasus pengeras suara misalnya, pemuka agama di kegiatan apapun perlu mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitarnya. Sehingga dalam menggunakan pengeras suara, volumenya bisa disesuaikan. Namun di sisi lain, kata dia, masyarakat sekitar juga harus menunjukkan sikap proporsional. Jangan sampai penolakan hanya karena sentiment. “Kalau ada hiburan, kadang tanpa izin gede-gede suaranya sering gak terganggu. Tapi ada suara azan dikit kencang terganggu,” imbuhnya. Untuk mensiasatinya, Haedar mengusulkan agar dialog antar pemuka agama dengan masyarakat perlu dilakukan. Sehingga bisa menghindari kesalahpahaman yang berujung pada ranah hukum. “Ini ada rasa yang hilang antar warga masyarakat. Ini yang mesti kita bina,” tuturnya. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan Robikin Emhas berpendapat bahwa mengatakan suara adzan terlalu keras seperti yang dilakukan Meiliana bukanlah termasuk penistaan agama. “Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat,” katanya. Menurut Robikin, prinsip lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut. “Tanpa bermaksud menilai putusan pengadilan, saya tidak melihat ungkapan “suara azan terlalu keras” sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu,” jelasnya. Robikin menambahkan, sebagai muslim, pendapat seperti itu sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. (jpg/bha)
Sumber: