Neraca Perdagangan RI Defisit US$2 Miliar
Jakarta -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada bulan Juli kembali mengalami defisit US$2,03 miliar. Posisi ini memburuk dibanding bulan Juni yang sempat mencatat surplus US$1,74 miliar. Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, defisit neraca perdagangan disebabkan karena jumlah ekspor yang lebih kecil dibanding impor. Tercatat, ekspor Juli di angka US$16,24 miliar dan impornya di angka US$18,27 miliar. Sebetulnya, nilai ekspor sebesar US$16,24 miliar tumbuh cukup baik, sebesar 25,19 persen dibanding bulan sebelumnya yakni US$12,97 miliar. Menurutnya, ini mengikuti tren dari tahun sebelumnya, di mana ekspor selalu terdongkrak selepas masa-masa lebaran. Suhariyanto merinci, hampir seluruh jenis ekspor mengalami peningkatan. Namun, secara bulanan, peningkatan terbesar disumbang oleh ekspor pertanian yang tumbuh 49,86 persen ditopang oleh ekspor kopi dan rumput laut. Kendati demikian, ekspor pertanian secara tahunan turun 6,52 persen karena penurunan harga di lada hitam, lada putih, dan buah-buahan. Sementara itu, ekspor industri pengolahan juga mengalami peningkatan bulanan 37,84 persen karena perbaikan harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), pakaian jadi dan tekstil, dan besi baja. Sedangkan ekspor pertambangan, meningkat 7,27 persen karena perbaikan harga batu bara. "Ekspor Indonesia makin menggeliat dan tumbuh ke depan, semoga makin bagus. Setelah lebaran memang meningkat dan semoga ada peningkatan di lima bulan terakhir nanti," ujar Suhariyanto di Gedung BPS, Rabu (15/8). Hanya saja, pertumbuhan impor ternyata lebih besar ketimbang ekspor. Ekspor Juli tercatat sebesar US$18,27 miliar bertumbuh 31,56 persen dibanding bulan sebelumnya yakni US$9,13 miliar. Seluruh golongan impor mengalami kenaikan di atas 50 persen secara bulanan. Impor barang konsumsi naik 70,5 persen secara bulanan karena ada impor beras dan apel dari China. Sementara itu, bahan baku mengalami kenaikan 59,28 persen secara bulanan gara-gara impor kacang kedelai, bahan organik, dan kapas. Barang modal pun mengalami kenaikan 71,95 persen karena Indonesia masih mengimpor barang modal dalam bentuk engine generator dan portable receiver dari China. "Tapi karena ini barang modal, semoga bisa meningkatkan investasi ke depan," papar dia. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia antara Januari ke Juli naik sebesar US$104,24 miliar atau naik US$93,61 miliar. Sementara itu, dari sisi impor secara akumulatif tercatat US$107,32 miliar. Sehingga secara kumulatif, Indonesia mencatat defisit US$3,08 miliar sepanjang tahun 2018. "Kami berharap ada perbaikan bahwa kejadian 2017 Indonesia akan surplus akan terulang lagi karena berdampak ke pertumbuhan ekonomi," pungkas dia. (agi)
Sumber: