70% Caleg Tidak Tinggal di Dapilnya
JAKARTA – Pengumuman daftar caleg sementara (DCS) oleh KPU menunjukkan sejumlah fakta terkait dengan para calon wakil rakyat di DPR. Salah satunya adalah bakal caleg yang tidak lagi berdomisili di dapilnya, melainkan di ibu kota. Diprediksi, kebanyakan di antara mereka terpilih pada pileg tahun depan. Temuan Jawa Pos, 30,75 persen caleg dari 77 dapil non-Jakarta berdomisili di ibukota. Itu setara dengan 2.175 caleg. Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memprediksi caleg yang domisilinya tidak berada di dapil mencapai 70 persen. Berdasar data DCS, Partai Golkar menjadi partai dengan jumlah caleg berdomisili Jakarta paling banyak, yakni 234 orang. Disusul PDIP (198) dan Demokrat (185). Sementara itu, PKPI memiliki persentase domisili caleg di ibu kota paling besar, yakni 51,2 persen, dari 77 dapil non-DKI. Titi memprediksi caleg nondomisili mendominasi pemilu tahun depan. “Kalau kita lihat dari calon yang jadi nanti, itu 70 persen nggak berdomisili di dapil,” terangnya saat berbincang dengan Jawa Pos kemarin (14/8). Fenomena itu terulang di setiap pemilu. Meskipun demikian, lanjut Titi, sejauh ini belum ada kajian spesifik mengenai dampak domisili itu terhadap kinerja mereka. Khususnya dalam mewakili masing-masing dapil. Memang, bisa saja alamat mereka tidak berada di dapil. “Tapi, intensitas mereka di dapil menjadi kontribusi yang menentukan pemahaman mereka terhadap persoalan di dapil,” lanjutnya. Menurut dia, kunjungan ke lapangan itulah momen membangun interaksi dengan konstituen. Dalam konteks tersebut, domisili tidak relevan. Meskipun demikian, kondisi tersebut tetap menunjukkan bahwa kultur politik di Indonesia masih sentralistik. Sebagian besar aktivitas DPP, yang menentukan pencalonan untuk DPR, dilakukan di ibukota. “Kalau kita lihat, kepengurusan di DPP diakses oleh figur-figur yang ada di Jakarta,” ucap ibu satu anak itu. Kecuali, lanjut dia, terhadap tokoh parpol yang meniti karir untuk jenjang yang lebih tinggi. Yakni, dari DPRD provinsi ke DPR. Di sisi lain, meskipun diprediksi 70 persen caleg terpilih tidak berdomisili di dapil asal, tidak berarti peluang incumbent menguat. Semuanya bergantung pada kompetitor di masing-masing dapil. Juga strategi kampanye yang digunakan masing-masing caleg. “Ingat saja, 2014 banyak sekali incumbent yang berguguran,” ucapnya. Persaingan menduduki kursi legislatif di Senayan pada Pemilu 2019 juga semakin berat setelah ambang batas parlemen atau parliamentary threshold naik menjadi 4 persen. Tantangan lainnya, akses informasi konstituen ke parlemen juga semakin sulit ketika partai yang mereka pilih tidak lolos parliamentary threshold. Kontrol kinerja legislatif juga lebih sulit. Terlebih, secara keseluruhan, kinerja legislasi DPR selama empat tahun terakhir masih memprihatinkan. Dari data yang dikumpulkan Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), dalam satu tahun masa sidang, DPR periode saat ini tidak mampu menghasilkan produk legislasi melebihi 10 RUU prioritas. “Tahun 2016 kinerja terbaik DPR, menghasilkan 10 RUU dari total 40 program legislasi nasional,” kata Lucius Karus, peneliti senior Formappi, dalam diskusi di kantor Formappi kemarin (14/8). Menurut Lucius, kinerja DPR menurun pada 2017 dan 2018. Di masa sidang 2017, hanya enam RUU hasil prolegnas yang disahkan. Memasuki pertengahan 2018, baru empat RUU prioritas yang disahkan. Meliputi Revisi UU MD3, UU Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme, UU Karantina Kesehatan, dan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak. “DPR tahun ini baru mengurangi empat beban RUU dari kewajiban 50 RUU,” kata Lucius. (jpg/bha)
Sumber: