Jokowi: Perkuat Cadangan Divisa
Jakarta -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan para menterinya untuk menjaga kewaspadaan dan kesiagaan dalam menghadapi imbas gejolak ekonomi yang terjadi di Turki saat ini. Kesiagaan ia minta dilakukan dalam cadangan devisa. Jokowi memerintahkan menterinya agar cadangan devisa diperkuat. Agar cadangan tersebut bisa menguat, pemerintah saat ini sudah merencanakan banyak program. Salah satunya, mewajibkan pencampuran 20 persen bahan bakar nabati (biodiesel) ke dalam solar agar impor minyak bisa ditekan. Kebijakan lain, mengendalikan impor barang yang tak penting. Jokowi mengatakan kebijakan tersebut perlu segera dilaksanakan. "Memperkuat cadangan devisa sangat penting agar ketahanan ekonomi kita kian kuat dalam menghadapi ketidakpastian global termasuk Turki," katanya, saat memimpin Rapat Terbatas tentang Lanjutan Strategi Kebijakan Memperkuat Cadangan Devisa, di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (14/8) siang. Jokowi mengatakan bahwa upaya menjaga kekuatan ekonomi dalam negeri terhadap goncangan saat ini sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani ia sebut sudah berhasil mengelola defisit APBN sehingga tahun ini diperkirakan akan berada di level 2,12 persen dari PDB. Upaya yang sama kata Jokowi juga sudah dilakukan oleh bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Lihat rasio kecukupan modal (CAR) perbankan yang masih kuat, berada di posisi 22 persen. Ini harus dijaga," katanya. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Anjloknya kurs lira diperkirakan bakal mempengaruhi sentimen pasar global yang dikhawatirkan turut berdampak pada Indonesia. "Sebagai negara anggota G20, tentu (perkembangan Turki) ini akan memberikan dampak terhadap keseluruhan perekonomian global. Walapun ukuran perekonomian (Turki) masih di bawah US$1 triliun, namun dia (Turki) posisinya strategis. Jadi kami harus tetap waspada," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ditemui di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Senin (13/8) lalu. Menurut Sri Mulyani, kondisi Turki saat ini belum dialami oleh negara berkembang lain, termasuk Indonesia. Permasalahan di Turki, lanjut Sri Mulyani, tidak hanya terjadi pada sektor keuangan saja tetapi juga pada politik dan keamanan. Kendati demikian, pemerintah akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjaga agar keoknya lira tidak berimbas negatif terhadap sentimen pelaku pasar di negara berkembang, khususnya Indonesia. Lebih lanjut, Sri Mulyani menegaskan bahwa perekonomian domestik dalam kondisi baik. Hal itu tercermin dari kuatnya pertumbuhan ekonomi kuartal II yang mencapai 5,27 persen, inflasi yang terjaga, dan defisit APBN yang diperkirakan lebih rendah dari asumsi pemerintah. Dampak krisis ekonomi yang menimpa Turki ke Indonesia juga dikhawarirkan Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong. Menurutnya, perlambatan pertumbuhan realisasi penanaman modal di tanah air pun sudah mulai terasa. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi di sepanjang semester I-2018 mencapai Rp 361,6 triliun. Angka itu tumbuh 7,4% dibanding realisasi investasi di semester I-2017 sebesar Rp 336,7 triliun. Namun pertumbuhannya mengalami perlambatan, sebab di semester I-2017 tumbuh 12,9%. Sementara realisasi penanaman modal di triwulan II-2018 (April-Juni) sebesar Rp 176,3 triliun. Angka itu turun dibanding realisasi investasi triwulan I-2018 (Januari-Maret) sebesar Rp 185,3 triliun. Dia juga memperkirakan, krisis ekonomi di Turki akan memberikan pengaruh pada realisasi investasi PMA di triwulan III dan IV 2018. Meskipun dia masih yakin target realisasi investasi tahun ini sebesar Rp 765 triliun masih bisa dicapai meski berat.(cnn/dtc)
Sumber: