Lagi, BI Naikkan Bunga Acuan
Jakarta -- Nilai tukar rupiah menguat ke posisi Rp14.309 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (29/1) sore, setelah Bank Indonesia (BI) mengerek bunga acuannya (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen. Penguatan rupiah ini sebenarnya terjadi sejak pagi kemarin, di mana rupiah berada di posisi Rp14.357 per dolar AS, setelah pada sore kemarin nyaris menembus Rp14.400 per dolar AS. Ariston Tjendra, Kepala Riset dan Analis Monex Investindo mengatakan keputusan BI itu berhasil membuat rupiah menguat pada Jumat (29/1) sore. Apalagi, kenaikan bunga acuan melebihi ekspektasi pasar sebelumnya sekitar 25 basis poin. "Karena sinyal kenaikan sebelumnya sudah diprediksi pasar, maka BI sengaja memberi efek kejut kepada pasar dengan menaikkan hingga 50 bps, sehingga membuat rupiah langsung menguat," katanya seperti dikutip CNNIndonesia.com. Kendati begitu, ia bilang penguatan ini memang cukup terbatas mengingat pengumuman BI hanya beberapa jam setelah pasar tutup. Walhasil, dampak lanjutan baru bisa terlihat pada pekan depan. Hanya saja, untuk menguatkan rupiah secara jangka panjang, perlu memperhatikan neraca perdagangan. Sebab, per Mei lalu, neraca perdagangan masih defisit US$1,52 miliar. "Sedangkan pelemahan rupiah tidak terlepas pula pada kondisi neraca perdagangan yang masih defisit. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah agar neraca perdagangan kembali positif," terang dia. Senada, Ibrahim, Analis sekaligus Direktur Utama PT Garuda Berjangka mengatakan penguatan rupiah memang didorong oleh sentimen dari bank sentral nasional. "Langkah menaikkan bunga acuan 50 bps ini sudah benar. Ini wajar dan tidak menggambarkan kepanikan BI karena memang perkembangan global harus ditanggapi dengan keputusan ini," ucapnya. Penguatan rupiah, katanya, masih bisa berlanjut pada pekan depan karena akan ada rilis inflasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Inflasi diperkirakan masih tetap rendah, meski permintaan konsumsi meningkat karena momen Lebaran. Namun, dengan masih besarnya tekanan global diperkirakan rupiah tidak akan meninggalkan zona Rp14 ribu per dolar AS hingga pekan depan. Sementara, tekanan global masih berasal dari penguatan rupiah usai bank sentral AS, The Federal Reserve, mengerek bunga acuan pada Juni lalu. Bahkan, kenaikan bunga The Fed diperkirakan masih terjadi pada kuartal III dan IV 2018 masing-masing 0,25 persen. Selain itu, masih ada sentimen dari perang dagang AS, yang tak hanya diberikan ke China, tapi juga ke Eropa, Kanada, dan Meksiko. "Ada kemungkinan besar, AS-China akan kembali mengadakan pertemuan tingkat menteri untuk mencari kesepakatan. Bila ada kesepakatan positif dari pertemuan itu, bukan tidak mungkin bisa menguatkan rupiah," jelasnya. Lalu, sentimen global datang pula dari konflik geopolitik di Timur Tengah karena Iran akan menyerang Arab Saudi. Ini akan mempengaruhi harga minyak mentah dan indeks dolar AS, ketika Iran dan Arab Saudi benar-benar berseteru. Sementara, di kawasan Asia, mayoritas mata uang juga menguat. Mulai dari won Korea Selatan menguat 0,82 persen, rupee India 0,51 persen, dan dolar Singapura 0,33 persen. Kemudian, peso Filipina 0,26 persen, renmimbi China 0,13 persen, ringgit Malaysia 0,12 persen, baht Thailand 0,08 persen, dan dolar Hong Kong 0,01 persen. Hanya yen Jepang yang melemah 0,16 persen. Sedangkan mata uang negara maju juga kompak menguat, euro Eropa naik 0,67 persen, poundsterling Inggris 0,59 persen, dolar Australia 0,47 persen, franc Swiss 0,39 persen, rubel Rusia 0,21 persen, dan dolar Kanada 0,13 persen. (cnn/bir)
Sumber: