Menengok Kediaman ‘The Smiling General’ Soeharto
SEJAK awal memasuki kawasan Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat yang tersohor di era Orde Baru (Orba) suasana sejuk dan rindang dengan pepohonan besar sudah tampak dirasakan. Di jalan itu pula, persisnya rumah bernomor 6-8, Presiden RI kedua Soeharto bersama keluarganya dulu tinggal bersama. Kini kediaman yang menjadi saksi bisu riwayat Sang Jenderal yang pernah berkuasa selama 32 tahun itu tak lagi dihuni keluarga besarnya. Pak Harto, sapaan Soeharto yang lengser 20 tahun lalu dari kursi Presiden RI itu sudah meninggal dunia pada 27 Januari 2008 di usia 86. Sementara istrinya, Raden Ayu Siti Hartinah atau Ibu Tien lebih dulu dipanggil Sang Khalik pada 28 April 1996 di umur 72. Kini rumah itu tak lagi dihuni anak-anaknya. Siti Hardiyanti Hastuti (Mbak Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Mbak Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) sudah menempati kediamannya masing-masing. Meski tak lagi didiami keluarga Soeharto, namun orisinal rumah pemimpin yang dijuluki The Smiling General itu tetap terjaga dengan apik. Tak ada perubahan sedikitpun. Pada Senin (4/6) sore lalu, Mbak Tutut, sapaannya Siti Hardiyanti Hastuti mengundang sejumlah awak media dan para tamu ke kediaman Pak Harto sekaligus buka bersama. Namun perempuan berusia 69 tahun itu lalu datang agak telat sekitar pukul 20.00WIB. “Sugeng rawuh (selamat datang, Red),” sapa Mbak Tutut kepada awak media. Ia tak canggung menerima ajakan tamu dan para awak media untuk berswafoto. Mengenakan kerudung merah, Mbak Tutut selalu melempar senyum saat diabadikan lensa kamera. Namun terkadang terdengar ucapan risih dari Mbak Tutut yang tak biasa difoto terus menerus. “Udah to, saya isin (malu, Red) difoto terus. Wong saya juga bukan artis,” tandasnya tersipu. Lalu perbincangan, canda gurau, dan obrolan ke sana-kemari dengan awak media menghiasi suasana malam kediaman yang tampak sunyi itu. Di mulai soal foto mirip Soeharto yang mendadak viral di media sosial (medsos) hingga kiprah sang adik, Tommy Soeharto bersama Partai Berkarya. Mbak Tutut bercerita dengan terbuka diselingi bahasa Jawa yang kerap diucapkannya. “Saya ngeliat memang itu mirip bapak saya, itu diambil oleh warga karena mereka rindu sama bapak ya. Jadi mereka semuanya ingin melihat,” ucap perempuan berusia 69 tahun itu. Ia berpendapat, foto tersebut menunjukkan kerinduan dari seorang anak bangsa kepada bapak bangsanya. Dan ini juga menunjukkan bahwa masih banyak yang sayang sama Soeharto, tak peduli apapun yang pernah Soeharto lakukan. Kemudian nada bicaranya sedikit menurun, setelah tersadar bahwa bapaknya telah tiada. Ia berpesan, tugas sebagai anak bangsa sekarang ini adalah meneruskan pemikiran-pemikirannya dengan baik untuk bangsa dan negara agar supaya tetap NKRI terjaga. “Jangan terpecah-pecah jangan sampai saling menyinggung,” pintanya lembut. Tak lama, dengan memegang mikrofon, Mbak Tutut menjadi guide atau pemandu untuk menerangkan sudut ruangan kediaman orang tuanya. “Ini rumah bapak kayak gini nih, ndak pernah berubah, ndak pernah diapa-apain ya memang begini bentuknya tidak ada yang dineko-neko (dibuat-buat),” kata Mbak Tutut. Saat berkeliling, tak jauh dari ruang kaca, terdapat satu ruangan yang cukup luas dipenuhi dengan berbagai barang antik berupa keramik, wayang kesenian khas Jawa serta ornamen-ornamen penghias dinding lainnya. Foto Soeharto bersama Ibu Tien serta enam anaknya juga menghiasi ruangan tersebut. Ada pula ruangan saat Pak Harto menerima tamu-tamu kenegaraan seperti para menteri era Orba. Sayangnya ruangan dengan pintu berwarna cokelat tersebut masih terkunci dengan rapi. Ia mengatakan, ruangan tersebut sengaja digembok agar tidak ada orang yang bisa keluar masuk ke dalamnya. “Ini digembok biar nggak ada orang yang keluar masuk,” jelas Mbak Tutut di depan ruang tersebut. Ruangan tersebut berukuran sekitar 5x5 meter dengan dinding bernuansa biru langit. Terdapat sebuah foto mendiang Soeharto berukuran sekitar 1,5x1 meter terpampang di atas sebuah pigura di belakang meja kayu berbuntuk lingkaran. Di belakang meja tersebut dikelilingi oleh lima buah sofa kulit berwarna hitam. Mbak Tutut menerangkan bahwa ruang kerja tersebut sengaja dibiarkan dengan kondisi seperti pada saat mendiang sang ayah masih hidup. “Ini nggak ada yang diubah sama sekali sejak dulu bapak masih hidup. Di sini biasanya bapak terima tamu kenegaraan seperti menteri-menteri,” kata dia. Di dalam ruangan itu biasanya Pak Harto menghabiskan waktu untuk menyelesaikan dokumen-dokumen kenegeraan sejak Subuh. Jika kebetulan harus ada pekerjaan yang dibawa pulang, maka mendiang ayahnya akan mengerjakannya di ruang tersebut hingga pukul 22.00 WIB. “Biasanya sampai jam 10 malam,” kata Mbak Tutut. Di salah satu dinding ruangan tersebut terlihat sebuah lukisan berukuran sekitar 2,5x1,5 meter bergambar tokoh pewayangan Hanoman. Selain itu, terlihat juga sebuah bendera merah putih yang dipasang pada sebuah tiang dan ditempatkan di antara dua tombak bernuansa kuno di salah satu sudut ruangan tersebut. Di sudut lainnya terlihat dua buah patung berbentuk figur binatang bersayap berwarna kuning keemasan berukuran sekitar 1 meter x 0,5 meter yang ditempatkan di kanan dan kiri sudut ruang tersebut. Dalam perbincangan singkat itu, Mbak Tutut menceritakan kalau rumah ayahnya itu banyak dimintai masyarakat untuk dijadikan sebuah museum. Dengan suka cita ia langsung menyetujuinya. Menurutnya, kelak masyarakat bakal mengetahui keseharian kehidupan bapaknya itu ketika masih menjabat sebagai presiden hingga tutup usia. “Jadi ini nanti akan bisa memberi tahu bahwa Pak Harto tidak ada yang hidup mewah-mewahan, tidak ada yang berlebih-lebihan. Beliau sederhana sesuai dengan bapak saya, ibu saya jadi tidak jor-joran,” urainya. Ia menuturkan, kehidupan pribadi mendiang ayah dan ibunya tidak seperti kebanyakan orang katakan, yang selalu menghambur-hamburkan uang seenak sendiri. “Nggak kayak orang bilang, duitnya nggak habis-habis. Duitnya nggak habis-habis itu punya bank. Bapak ndak punya apa-apa,” tandas Mbak Tutut. (jpg/bha)
Sumber: