Pemerintah Tambah Subsidi Solar
SEMARANG-Pemerintah sepakat menambah alokasi subsidi solar tahun ini dari sebelumnya Rp500 per liter menjadi Rp2.000 per liter. Hal itu dilakukan untuk mengimbangi kenaikan harga minyak dunia yang tembus US$70 per barel atau melampaui asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar US$48 per barel. "Kalau tadinya subsidi solar dibantu pemerintah Rp500 per liter, sekarang kami akan membantu menambah Rp1.500 per liter menjadi Rp2 ribu per liter," terang Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno di sela-sela kunjungannya ke Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pengapon, Semarang, Jawa Tengah, kemarin. Secara terpisah, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menambahkan, keputusan penambahan besaran subsidi dilakukan berdasarkan hasil rapat kementerian/lembaga terkait pada awal pekan ini. Selain Kementerian BUMN, penambahan alokasi subsidi solar juga disepakati oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Selain itu, juga melibatkan Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas (Migas)," kata Harry. Menurut dia, mekanisme penambahan alokasi subsidi solar tak perlu merevisi APBN 2018. Pasalnya, negara bisa menutupnya dari penerimaan tambahan kenaikan harga minyak. Sebagai catatan, tahun ini alokasi subsidi solar mencapai sekitar 16,23 juta kiloliter (kl). Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menyambut keputusan pemerintah tersebut. Terlebih, harga jual solar masih di bawah harga keekonomian. Saat ini, solar dibanderol seharga Rp5.150 per liter, padahal harga keekonomiannya lebih dari Rp7 ribu per liter. "Besaran tambahan subsidi solar tersebut sudah cukup karena itu sudah kami hitung bersama dengan pemerintah," jelas Nicke. Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Djoko Siswanto menyebut tambahan dana subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun ini bisa ditutup oleh penerimaan dari selisih harga minyak mentah Indonesia (ICP) dengan asumsi ICP di APBN 2018. Dengan demikian, target penerimaan negara tidak akan terganggu. Djoko memaparkan pemerintah mendapatkan kelebihan penerimaan (windfall profit) dari penjualan minyak mentah bagian negara ke Pertamina. Pasalnya, ICP berlaku lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2018 yang hanya sebesar US$48 per barel. Sebagai catatan, ICP telah mencapai US$64,12 barel pada April lalu. Selain itu, Pemerintah memperkirakan kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah menyebabkan kenaikan subsidi energi, utamanya LPG dan Listrik. Kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah tersebut berdampak pada kenaikan penerimaan migas, baik dari PNBP maupun PPh Migas. Hal ini memberikan gain pada kinerja pelaksanaan APBN 2018. Terkait subsidi listrik, pemerintah akan melakukan penyesuaian subsidi untuk menjangkau lebih banyak pelanggan listrik kelompok menengah ke bawah (450 VA dan 900 VA) yang membutuhkan dukungan pemerintah. Penyesuaian besaran subsidi BBM (solar) serta subsidi listrik untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA dalam pelaksanaan APBN 2018 tersebut sejalan dengan UU APBN tahun 2018. Dalam melaksanakan penyesuaian besaran subsidi Solar dan subsidi listrik tersebut, pemerintah akan mengkomunikasikan dengan komisi VII DPR yang membidangi sektor Migas. Di samping itu, perkembangan indikator migas serta kenaikan pendapatan migas, penyesuaian subsidi BBM dan subsidi listrik, serta perkembangan besaran APBN 2018 secara keseluruhan akan disampaikan pemerintah ke DPR dalam Laporan Semester I pelaksanaan APBN tahun 2018.(CNN/bir/pmg)
Sumber: