Siapa Pemesan 5.000 Senpi Ilegal?
JAKARTA-Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan bahwa isu pembelian 5.000 senjata api secara ilegal oleh institusi nonmiliter dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo harus diklarifikasi tuntas. Menurut Fadli, angka 5.000 merupakan jumlah yang signifikan. Apalagi, ada perbedaan pernyataan antara Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto soal senjata yang dipesan. Gatot menyebut ada 5.000 senpi yang mau didatangkan oleh institusi non-TNI. Sedangkan Wiranto mengatakan jumlahnya 500 dengan merujuk angka pesanan Badan Intelijen Negara (BIN) ke PT Pindad. "Informasi soal lima ribu senjata itu harus diklarifikasi. Karena ini persoalan yang menurut saya bukan persoalan biasa," kata Fadli di gedung DPR, Jakarta, Senin (25/9). Wakil ketua umum Partai Gerindra itu menambahkan, pernyataan Panglima TNI yang sampai menyebut angka 5.000 senjata ilegal semestinya disertai data pendukung yang kuat. Dengan demikian, pernyataan itu bukan karena asal sebut. "Bukan hanya sekadar bicara. Karena itu menurut saya perlu ada klarifikasi," katanya. Menurut Fadli, yang paling penting untuk diklarifikasi adalah soal institusi yang dimaksud Gatot. Meskipun, Gatot tidak menyebutkan nama institusinya, namun Fadli menduga yang dimaksud adalah BIN dan Polri. "Mungkin ini yang perlu diklarifikasi," tegasnya. Lebih lanjut dia mengatakan, untuk pengadaan persenjataan sudah jelas aturannya termasuk siapa yang punya hak dan tidak. "Jenisnya pun saya kira harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu," katanya. Seperti diketahui, Gatot dalam acara dengan para sesepuh TNI di di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9), mengungkapkan adanya institusi yang berencana mendatangkan lima ribu pucuk senjata secara ilegal dengan mencatut nama Jokowi. Namun, Gatot tidak memberikan info secara terperinci mengenai institusi yang dimaksud dan jenis senjata yang akan didatangkan. Sedangkan Wiranto dalam siaran pers Kemenkopolhukam kemarin (24/9) menyatakan, yang ada adalah 500 senjata api pesanan BIN. Itu pun bukan impor, melainkan pesan ke PT Pindad. Wiranto menegaskan, senjata yang dipesan juga bukan standar TNI sehingga prosedur pengadannya cukup izin di Mabes Polri. "Dengan demikian prosedur pengadaannya tidak secara spesifik memerlukan kebijakan presiden," ungkap Wiranto. Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin alias Kang TB mengkritik pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang akan menyerbu institusi jika memang benar melakukan pembelian 5.000 senjata dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo. Menurut Kang TB, kewenangan melakukan pengerahan tentara untuk melakukan penyerbuan merupakan kewenangan presiden selaku panglima tertinggi TNI. Karena itu dia menegaskan, kewenangan tersebut bukan berada di tangan Panglima TNI. “Yang namanya pengerahan prajurit TNI itu hanya atas perintah presiden, dan itu atas persetujuan dari DPR,” kata politikus PDI Perjuangan itu di gedung DPR, Jakarta, Senin (25/9). Menurut Hasanuddin, hal itu sudah jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. “Kalau bicara penyerbuan, mari bicara undang-undang TNI di pasal 17 dan 15,” kata mantan sekretaris militer kepresidenan di era Presiden Megawati ini. Dalam pasal 17 ayat 1 UU 34/3004 disebutkan bahwa kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada presiden. Sedangkan ayat 2 menyatakan, dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat 1 presiden harus mendapat persetujuan DPR. Pasal 15 UU 34/2004 mengatur tugas dan kewajiban Panglima TNI. Anggota Komisi I DPR Mayjen TNI (Purn) Supriadin mengatakan, institusi seperti Badan Intelijen Negara (BIN) boleh memesan langsung senpi, sepanjang itu untuk membela diri. “Dan bukan standar militer,” katanya di gedung DPR, Jakarta, Senin (25/9). Dia menambahkan, memiliki senpi juga harus memenuhi berbagai macam persyaratan. Misalnya, tes psikologis, dan lainnya. Supriadin mengatakan Komisi I DPR akan segera memanggil Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala BIN Jenderal Budi Gunawan. Pemanggilan kedua petinggi itu akan dilakukan di forum yang berbeda. “Berbeda dong. Kalau disamakan, nanti membenturkan,” ujarnya. (jpnn)
Sumber: