DPR Kritisi Pembentukan Teritorial KPK

DPR Kritisi Pembentukan Teritorial KPK

Anggota Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga ad hoc yang dibentuk lewat amanat reformasi untuk melakukan transisi penegakan hukum, sepatutnya bukan malah dipermanenkan dengan membentuk teritorial hukum sendiri. Sahroni mengapresiasi rencana pembentukan KPK di tingkat wilayah. Penguatan pencegahan dan pemberantasan korupsi memang harus dilakukan hingga tingkat wilayah. Namun dia menekankan pentingnya peninjauan dari perspektif sistem hukum Indonesia, terutama aspek ketatanegaraan dan anggaran belanja negara. Nah, kata Sahroni, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk membentuk unit kerja wilayah. "Pertama, KPK perlu membentuk teritorial hukum tetapi dengan catatan hanya bersifat sementara. Kedua, perlu memperhatikan peningkatan pembiayaan dari sisi kegiatan operasional," kata Sahroni, Jumat (22/9). Dia mengingatkan, konsep pembentukan KPK sejak awal adalah dalam perspektif transisi penegakan hukum, bukan untuk dipermanenkan. Karena itu, ujar dia, KPK harus memperhatikan hubungan dengan lembaga yudikatif sehingga tidak muncul konflik kewenangan yang justru membuat runyam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Dia menegaskan, secara teoritis KPK merupakan state auxiliary organs, sebuah lembaga diperbantukan yang berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Sementara Indonesia masih menggunakan kitab hukum dalam persepektif hukum tertulis dengan asas-asas hukum tertentu. Amandemen Undang-undang Dasar 1945 memang memberikan ruang bagi lembaga seperti KPK untuk menciptakan check and balance. "Dalam membangun unit kerja di daerah, KPK juga perlu memperhatikan hubungan dengan lembaga yudikatif sehingga tidak muncul konflik kewenangan yang dapat membuat runyam penegakan hukum tindak pidana korupsi,” jelasnya. Politikus Partai Nasdem itu menilai KPK memang perlu dikembalikan pada tujuan hakekatnya yaitu dibentuk selain untuk menciptakan cara berhukum yang lebih efektif dan diarahkan untuk menyelamatkan keuangan negara. Karena itu, dia berpendapat perlu ada korelasi positif antara peningkatan pendapatan negara dengan aksi operasi tangkap tangan KPK. Anggaran KPK pada tahun 2016 sebesar Rp 991,8 miliar sedangkan pada 2017 berjumlah Rp 734,2 miliar. "Jika dibandingkan, selama enam tahun (periode 2009-2015), KPK hanya berhasil mengembalikan uang korupsi ke kas negara sebesar Rp 728.45 miliar," kata Sahroni. Jadi, kata Sahroni, masalahnya bukan pada perluasan kewenangan berbasis teritorial. Tetapi, bagaimana KPK dapat memberi solusi pencegahan yang lebih efektif. "Supaya keuangan negara dapat diselamatkan dan pendapatakan belanja negara juga mengalami peningkatan,” tuntasnya.(boy/jpnn)

Sumber: