Tiga WNA Asal Pakistan Diamankan Petugas Imigrasi Bandara Soetta

Tiga WNA Asal Pakistan Diamankan Petugas Imigrasi Bandara Soetta

TANGERANG, tangerangekspres.co.id - Tiga warga negara asing (WNA) asal Negara Pakistan diamankan petugas Kantor Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta. Ketiga WNA itu berinisial AMK (45), OB (44), dan SZ (30) terdeteksi kedapatan menggunakan visa palsu. Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno-Hatta, Muhammad Tito Andrianto mengungkapkan, ketiga WNA asal negara Pakistan tersebut melakukan perjalanan ke Jakarta dari Kuala Lumpur pada 15 Agustus 2022 lalu dengan menggunakan penerbangan Malindo Air (OD 348) dan Batik Air (ID 7283). Ketika pemeriksaan dokumen keimigrasian di Bandara Soekarno-Hatta, kata Tito, petugas menemukan bahwa visa C314 (Investor) yang digunakan oleh OB dan SZ tidak tercatat dalam sistem penerbitan visa Direktorat Jenderal Imigrasi. Sementara visa C314 yang dimiliki oleh AMK, tercatat dalam sistem penerbitan visa ternyata milik orang asing atas nama ANU dengan sponsor SIJ. "Mereka tiba dan saat dilakukan pemeriksaan keimigrasian di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) ternyata dokumen visa mereka palsu," kata Tito, saat memberikan keterangan kepada awak media, Kamis (18/8/2022). Setelah dilakukan pemeriksaan dokumen ketiga WNA asal Pakistan tersebut dan diduga kedapatan menggunakan visa palsu, pihaknya langsung menyerahkan ketiga WNA tersebut kepada Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Tito menjelaskan, ketiga WNA asal Pakistan itu saat dilakukan pemeriksaan oleh tim penyidik mengakui tidak pernah mengajukan permohonan Visa RI melalui aplikasi Visa online Ditjen Imigrasi. Mereka malah melalui agency. Mereka mengurus Visa melalui orang lain dari pihak agency berinisial RM dan RH WNA asal Pakistan. Padahal, pengajuan visa RI yang diajukan secara online melalui aplikasi Visa online Ditjen Imigrasi itu mudah apabila semua persyaratan dipenuhi. "Semisal, surat jaminan, surat pendirian perusahaan kalau memang ini perusahaan yang diajukan ke Ditjen Imigrasi dalam waktu paling cuma 5 hari sudah diterbitkan. Mereka malah melalui orang lain," ucapnya. Dalam pengurusan penerbitan Visa RI tersebut, kata Tito, OB merogoh kocek hingga 15.000 Ringgit untuk 2 Visa Limited Stay Permit atas nama dirinya sendiri dan SZ. Sedangkan AMK membayar biaya pengurusan visa sejumlah 12.000 Ringgit kepada RH. "Kami menduga bahwa RM dan RH yang merupakan warga negara Pakistan merupakan sindikat pemalsuan visa yang beroperasi di Malaysia," sebut Tito. Selain itu, dari hasil penyelidikan sementara, ternyata ketiga WNA asal Pakistan tersebut saling mengenal. OB adalah pemilik sekaligus Direktur PT AGSB yang berlokasi di Malaysia sementara SZ bekerja sebagai General Manager (GM) di perusahaan tersebut. Kemudian AMK adalah CEO dari PT MOI yang juga berada di Malaysia. Diketahui, kedua perusahaan tersebut memiliki kerjasama dalam bisnis ekspor minyak sawit dari Malaysia ke Afganistan. "Kedua perusahaan itu ternyata didapati adanya kerjasama dalam berbisnis, yaitu bisnis ekspor minyak sawit dari Malaysia ke Afghanistan," ujarnya. Tito menyebutkan, AMK dan SZ ini baru pertama kali masuk ke Indonesia, sementara OB tercatat sudah beberapa kali masuk Indonesia dengan menggunakan visa yang berbeda untuk urusan bisnisnya. "OB sebelum-sebelumnya terdaftar tidak ada masalah, tapi untuk AMK sama SZ batu kali ini masuk Indonesia," ujarnya. Menurut Tito, ketiga WNA tersebut akan melakukan kunjungan bisnis ke tiga perusahaan kelapa sawit di Indonesia yaitu dengan inisial GA, GPO, dan APO yang berlokasi di Jakarta. Pihak Imigrasi akan melakukan pendalaman lagi, apakah ketiga WNA sebagai korban pembuatan visa palsu yang diterbitkan pihak agency atau mereka mengetahui penerbitan Visa Palsu itu. "Saat ini kami tengah melakukan pendalaman apakah mereka sengaja atau sebagai korban," ujarnya. Pihaknya juga akan melakukan pemanggilan ketiga perusahaan sawit yang berlokasi di Jakarta tersebut untuk dimintai keterangan apakah benar perusahaan tersebut mengenal ketiga WNA tersebut dan akan melakukan kerjasama atau hal lainnya. "Kami juga belum melakukan kroscek secara mendalam, apakah benar perusahaan tersebut ada, kalau memang ada akan kita mintai keterangan. Tapi kalau tidak ada berarti kan kita patut menduga hal lain dari ketiga WNA ini," paparnya. Meski demikian, Tito menegaskan, apabila ketiga WNA ini sebagai korban penerbitan visa palsu, maka pihaknya akan melakukan deportasi ke negara asalnya. Namun, jika memang ketiganya sengaja atau mengetahui bahwa visa yang digunakan itu palsu, kata Tito, maka unsur pidananya sudah terpenuhi, mereka akan dijerat dengan Pasal 121 huruf (b) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500 juta. "Jika sudah dilakukan pemeriksaan yang mendalam dan diketahui mereka mengetahui bahwa visa yang digunakan palsu ya kita jerat dengan pasal pidana tadi yaitu dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta," pungkasnya.(raf)

Sumber: