Kolaborasi Adalah Kunci Memenangkan Peperangan Melawan Pandemi
Berlebaran memang tidak lengkap tanpa mudik. Tradisi yang sudah turun temurun. Lalu tiba-tiba diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), akhirnya tradisi Mudik terancam berhenti. Benarkah? Sebelum menjawab pertanyaan yang sama dan datang bertubi-tubi. Alangkah baiknya bertanya dahulu pada diri sendiri. Apakah Ramadhan kali ini sudah menjadi manusia yang berarti? Apalagi di tengah wabah pandemi yang mengancam negeri? Mudik sudah menjadi tradisi, esensinya silaturahmi. Tapi ketika pandemi menyebar ke pelosok negeri, kolaborasi adalah kuncinya. Sama-sama berjuang agar silaturahmi tidak berhenti pada tahun ini. Semoga di tahun selanjutanya bisa kembali normal. Di tengah situasi yang emergency, negara membutuhkan para pejuang. Tapi kali ini bukan pejuang yang membawa senjata. Negara membutuhkan pejuang yang berdiam diri di rumah. Inilah kesempatan menjadi manusia yang berarti di mata negara dan sang pencipta. Manusia yang berkontribusi menghentikan pandemi. Pejuang yang menjadi bagian dari orang yang bersama-sama menghentikan penyebaran Covid-19, salah satunya dengan membangun tradisi baru merayakan Idul Fitri di tengah pandemi. Perjuangan melawan pandemi sudah setengah jalan. Memaksakan mudik yang menimbulkan mobilitas sosial akan membuyarkan perjuangan. Jadi harus berkolaborasi memenangkan peperangan melawan pandemi. Begitu juga bagi warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Mudik untuk mengunjungi saudara yang berada di seputaran Jabodetabek, merupakan tradisi yang turun temurun. Mudik Lokal, begitu masyarakat menyebutnya. Tapi adanya PSBB, mudik lokal tahun ini harus ditunda karena pandemi berpotensi menyebabkan kerumunan yang masif. Kembali ke esensi berlebaran, bersilaturahmi dan menjadi pribadi yang menyebarkan kebaikan. Jangan sampai dengan memaksakan mudik yang tujuannya baik malah berakibat buruk karena sanak famili terjangkit pandemi. Lalu mengapa transportasi masih beroperasi di tengah pandemi? Kenapa tidak dilarang saja agar orang tidak mudik? Begitulah banyak komentar di media sosial (medsos) perihal transportasi di tengah pandemi. Transportasi bukan untuk mudik tapi untuk keberlangsungan hidup. Transportasi tetap berjalan dengan pembatasan agar tidak mengalami krisis pangan, agar rumah sakit tidak mengalami krisis obat-obatan dan alat kesehatan. Dukungan transportasi sangat vital tapi bukan untuk mencari pembenaran agar bisa berlebaran di kampung halaman. Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Polana B Pramesti mengatakan, kebijakan transportasi di Jabodetabek pada Idul Fitri 1441 tetap diberlakukan sebagaimana di awal penerapan PSBB di Jabodetabek. Yaitu transportasi tetap berjalan dengan pembatasan, transportasi bukan untuk mudik ke kampung halaman. Tetapi transportasi untuk menopang kehidupan agar terus berjalan. Pada prinsipnya kebijakan PSBB tidak sama sekali menghentikan semua aktifitas kegiatan, hanya sebagian yang diperbolehkan. Transportasi tetap berjalan dengan pembatasan untuk menopang kegiatan yang tidak boleh berhenti. “Transportasi harus terus berjalan agar kebutuhan pokok terpenuhi di seluruh Jabodetabek agar warga Jabodetabek tetap dapat mengakses fasilitas kesehatan” kata Kepala BPTJ Polana B Pramesti yang terjun langsung memimpin sosialisasi transportasi di kala pandemi. Menurut Polana karena vitalnya transportasi untuk Jabodetabek, BPTJ mengatur ketentuan dan jadwal operasi transportasi selama pandemi sebagai berikut: 1. Bagi angkutan umum jumlah penumpang maksimal 50% dari kapasitas 2. Kereta Api jumlah penumpang 35% dari kapasitas 3. Ojek online tidak diperbolehkan mengangkut penumpang 4. Sepeda motor pribadi diperbolehkan mengangkut penumpang apabila pengendara dan penumpang dapat menunjukkan KTP dengan alamat yang sama 5. Jam operasional untuk DKI Jakarta mulai pukul 06.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB, sedangkan Bodetabek mulai pukul 05.00 WIB hingga 19.00 WIB. Selain itu sambung Polana, BPTJ yang bertanggung jawab terhadap koordinasi pengelolaan transportasi di Jabodetabek, telah mendorong daerah untuk mengantisipasi mudik lokal dengan kebijakan daerah. DKI Jakarta misalnya, sudah menyatakan melarang mudik lokal dan akan menggunakan Peraturan Gubernur DKI Nomor 47 Tahun 2020 sebagai perangkat hukumnya. Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Kabupaten Bogor serta Pemerintah Kota Depok juga sudah menyatakan melarang warganya melakukan mudik lokal. “Walau tidak bertemu muka, pintu maaf akan selalu terbuka. Jadilah pejuang bagi negara dan keluarga, patuhi larangan yang sudah ditetapkan pemerintah,” jelas Polana. Sejauh ini BPTJ telah berupaya melakukan berbagai kegiatan sosialisasi kepada masyarakat Jabodetabek yang melibatkan seluruh komponen. Seperti Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah, tokoh masyarakat, pemerhati transportasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki pandangan yang sama yakni bergotong royong agar sementara waktu tidak mudik ke kampung halaman.(adv)
Sumber: