PPDB Sistem Zonasi: Jangan Dihapus, Tapi Diperbaiki

PPDB Sistem Zonasi: Jangan Dihapus, Tapi Diperbaiki

JAKARTA-Sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 perlu dikaji kembali. Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai masih perlu kajian dan riset mendalam untuk efektivitas penerapannya. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud, Ade Erlangga mengatakan masih membahas masalah PPDB zonasi. "Keputusan soal apakah PPDB zonasi akan diterapkan atau tidak masih dikaji dan nanti akan kita sampaikan ke publik kalau sudah," katanya. Sementara itu, Pendiri Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Najelaa Shihab menilai kebijakan ini apakah efektif dan berdampak atau memang mencapai tujuan, belum dianalisa dengan cukup dalam. Terlebih lagi Najelaa menilai, tarik ulur pro dan kontra kebijakan zonasi belum menemui titik temu. Jika hanya berkutat dalam perdebatan penting atau tidaknya sistem zonasi. Untuk itu, yang diperlukan adalah riset kajian mendalam berdasarkan hasil temuan di lapangan. "Rekomendasi kami memang ada assesment yang menyeluruh tentang kebijakan ini. Karena pada akhirnya kita membuat kebijakan berdasarkan hasil rapat dan asumsi, tanpa riset yang didukung oleh data lapangan," ujarnya. Di sisi lain, Najelaa melihat manfaat kebijakan ini bisa dirasakan di masa mendatang. Dampak yang paling terasa adalah soal pemerataan kualitas pendidikan. "Kebijakan zonasi untuk tujuan jangka panjang dan kami percaya bisa mendukung pemerataan kesempatan pendidikan. Tetapi mengenai peran pusat dan ketentuan kebijakan pusat dan ada di bawah kendala daerah dan berkaitan dengan desentralisasi pendidikan itu kita perlu kaji lebih dalam," tuturnya. Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim mengaku khawatir apabila kebijakan PPDB dengan sistem zonasi dihilangkan. Menurutnya, dengan adanya zonasi pendidikan menjadi lebih merata dan membuat daerah lebih banyak berbenah. "Zonasi adalah kebijakan yang mementingkan hak-hak siswa. Terlebih menjadi pintu masuk perbaikan kualitas pendidikan secara nasional. Oleh sebab itu, FSGI berharap kebijakan ini akan terus ada ke depannya," katanya. Satriawan menambahkan, meski dalam pelaksanaannya PPDB zonasi memang menimbulkan berbagai kontroversi. Namun, hal itu bukan berarti kebijakan ini harus dihapus. "Kebijakan soal zonasi ini harus diperbaiki dan dievaluasi apa saja yang menjadi masalah," ujarnya. Menurut Satriawan, dengan adanya PPDB zonasi semua anak memiliki kesempatan sekolah yang sama. Pemantauan anak pun lebih mudah, karena tidak jauh dari rumah. "Apabila ada daerah yang kekurangan sekolah atau kekurangan siswa maka bisa menjadi bahan evaluasi pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan pendidikan," terangnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk melanjutkan kebijakan zonasi. "Zonasi ini untuk membangun kualitas pendidikan, untuk meratakan guru, meratakan sarana dan prasarana. Ini harus dimulai," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Retno mengusulkan, agar pendekatan zonasi tidak hanya digunakan untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Tetapi juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan, mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik sampai dengan kualitas sarana prasarana. "Penerapan sistem zonasi pendidikan perlu dilakukan untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat," imbuhnya. Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema menyarankan agar sistem zonasi tetap diteruskan untuk PPDB 2020 meski masih banyak kekurangan. Menurutnya, PPDB berbasis zonasi masih sangat relavan untuk tahun ajaran 2020 dan harus tetap dipertahankan. "Terkait kekurangan-kekurangan yang ada pada sistem zonasi tersebut tetap wajib diperbaiki atau disempurnakan," katanya (der/fin)

Sumber: