Setahun Terjadi 31 Kasus Intoleransi
Jakarta-- Imparsial menemukan sebanyak puluhan kasus pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) atau intoleransi di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Koordinator Program Imparsial, Ardimanto Adiputra mengatakan pelanggaran terhadap hak KKB terjadi dalam pelbagai bentuk. "Setidaknya terdapat 31 kasus yang kami monitoring lewat media-media pelanggaran hak terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan," kata Ardimanto di Kantornya, Jakarta, Minggu (17/11). Ardimanto menjelaskan pelanggaran hak KKB didominasi oleh pelarangan terhadap ritual, pengajian, ceramah atau pelaksanaan kepercayaan agama yang terjadi sebanyak 12 kasus. Sedangkan urutan berikutnya adalah pelarangan pendirian rumah atau tempat ibadah dengan 11 kasus; perusakan terhadap rumah ibadah, baik gedung ataupun properti dengan tiga kasus; dan pelarangan terkait kebudayaan etnis tertentu dalam hal ini Cap Gomeh dengan dua kasus. "Kemudian yang kelima, ada pengaturan tentang tata cara berpakaian berkaitan dengan agama atau keyakinan tertentu. Ini ada satu kasus," terang Ardimanto. Pelanggaran berikutnya adalah perihal imbauan atau edaran tentang aliran agama tertentu dengan satu kasus. Poin terakhir adalah terkait penolakan untuk bertetangga dengan orang yang tidak seagama. "Ini juga terjadi sebanyak satu kasus," tandasnya. Ardianto mengatakan pelaku pelanggaran tersebut terdiri dari kalangan masyarakat dan aparat negara atau Pemerintah. Teruntuk yang terakhir itu, ia merinci telah terjadi pelanggaran dengan catatan empat kasus. Bentuk pelanggaran yang dilakukan Pemerintah, jelas dia, berupa pencabutan pendirian rumah ibadah, pelarangan perayaan atau ritual agama tertentu, dan imbauan atau edaran yang dilakukan Pemerintah untuk mewaspadai aliran atau agama tertentu. "Nah ini aparat negara atau Pemerintah masih menyumbang pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal seharusnya mereka menjadi pihak yang melindungi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan," katanya. Erwin Natosmal Oemar, peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) menyebut bahwa intoleransi tidak terlepas dari kerangka hukum yang ada di Indonesia. Teruntuk kebijakan nasional, Erwin menyoroti pasal penghinaan agama. Menurut dia, penggunaan diksi penghinaan sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Dia pun menyoroti Pasal 304 KUHP yang mengatur tentang pidana lima tahun bagi orang yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang tidak dihapus. Apalagi, kata dia, dalam aturan perubahan KUHP terdapat tambahan delik intoleransi yakni Pasal 306. Beleid ini berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan seseorang terhadap agama apa pun yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun," "Hal ini terjadi di regulasi nasional dalam hal ini KUHP dan RKUHP yang masih memberikan ruang kepada orang melakukan tafsir subjektif sehingga kemudian dalam praktiknya orang menggunakan rujukan KUHP sebagai alas," kata Erwin. Sementara untuk daerah, intoleransi muncul dari kebijakan-kebijakan diskriminatif Pemerintah Daerah melalui peraturan daerah (Perda). "Perda-perda syariah, mohon maaf ya, Perda-perda yang berbau agama rupanya tidak didorong oleh kelompok-kelompok yang berbasis agama, tetapi juga oleh kelompok-kelompok yang tidak berbasis agama," sebutnya. Menurut Erwin, Perda diskriminatif lahir karena ekspresi politik. Di mana, jelas Erwin, agama menjadi jualan paling laku untuk menggaet suara. "Terkadang Perda-perda yang berbau agama dihidupkan misalnya orang harus bisa baca Al Quran, orang harus ikut pengajian, atau harus memakai jilbab padahal tidak semua orang beragama islam," katanya.(cnn)
Sumber: